Skip to main content

KONFLIK DALAM LAKON MENTANG-MENTANG DARI NEW YORK KARYA MARCELINO ACANA JR. (KAJIAN SOSIOLOGI)



Bima Dewanto
Program Studi Sastra Indonesia

Abstrak

Budaya dan tradisi masyarakat di dunia memiliki keanekaragaman yang sangat banyak. Masing-masing dari budaya yang mereka miliki berasal dari latar belakang sosial yang khas dan budaya yang berbeda satu sama lain. Setiap kelompok masyarakat membawa kebiasaan dan tradisi masing-masing dalam kehidupannya sehari-hari. Tradisi yang mereka jalankan adalah hasil dari pembelajaran, perkembangan, dan proses yang mereka jalani bersama masyarakat lainnya. Proses ini membentuk identitas budaya dalam diri individu sehingga memotivasi seseorang untuk belajar tentang sikap dari kelompok masyarakat sendiri maupun kelompok masyarakat lain.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyajikan kepada pembaca mengenai konflik dalam lakon Mentang-mentang dari New York. Metode yang digunakan merupakan metode deskriptif dengan teknik analisis kualitatif. Objek dari penelitian ini ialah naskah drama Mentang-mentang dari New York karya Marcellino Acana Jr dengan focus penelitian pada konflik dari naskah tersebut. Adapun hasil dari penelitian ini adalah mengetahui mengenai konflik dalam lakon Mentang-mentang dari New York dengan teori Sosiologi Sastra oleh Abrams.

Kata kunci: konflik, naskah lakon, Mentang-mentang dari New York, tradisi



BAB I
Pendahuluan

1. 1 Latar Belakang
Budaya dan tradisi masyarakat di dunia memiliki keanekaragaman yang sangat banyak. Masing-masing dari budaya yang mereka miliki berasal dari latar belakang sosial yang khas dan budaya yang berbeda satu sama lain. Setiap kelompok masyarakat membawa kebiasaan dan tradisi masing-masing dalam kehidupannya sehari-hari. Tradisi yang mereka jalankan adalah hasil dari pembelajaran, perkembangan, dan proses yang mereka jalani bersama masyarakat lainnya. Proses ini membentuk identitas budaya dalam diri individu sehingga memotivasi seseorang untuk belajar tentang sikap dari kelompok masyarakat sendiri maupun kelompok masyarakat lain.
            Kesadaran akan identitas tradisi dan budaya ini juga bisa direfleksikan dengan banyak cara salah satunya adalah dengan sebuah naskah lakon atau drama. Sejak tahun 1800-an, masyarakat indonesia sudah diperkenalkan dengan sajian drama yang salah satunya dibawakan oleh teater stamboel. Teater stamboel merupakan salah satu komunitas teater yang memulai masa perintisan awal perkembangan drama di indonesia (Riantiarno, 2011: 26). Sebagai wadah cerminan untuk mengenalkan tradisi kepada masyarakat, naskah lakon yang juga merupakan salah satu genre sastra memiliki tugas sebagai penyampai sosiologi. Menurut Wellek (1989:98) mengatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataann sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subyektif manusia.
 Pada penelitian kali ini, penulis membahas tentang sosiologi tokoh yang ada pada lakon Mentang-mentang dari New York karya marcelino acana jr yang kemudian diterjemahkan oleh tjetje yusuf dan disadur oleh noorca marendra. Naskah lakon ini menceritakan tentang seorang tokoh utama bernama Ikah yang baru saja datang dari new york untuk pulang ke kampung halamannya di jelambar. Sesampainya di rumah, Ikah yang masih terlena dengan tradisi barat membawa tradisi itu untuk diaplikasikan di lingkungan rumahnya dengan langkah awal merombak habis ibunya sendiri dengan dandanan ala amerika. Ikah juga mendoktrin ibunya untuk menggunakan adab-adab negara barat mulai dari membedakan gelas untuk isi yang bervariasi hingga bagaimana pola waktu tidur yang ia pelajari di sana.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, penelitian ini dapat dirumuskan dengan tiga aspek, yaitu:
1.2.1    Bagaimana unsur intrinsik dalam lakon Mentang-mentang dari New York?
1.2.2    Bagaimana konflik dalam lakon Mentang-mentang dari New York?
1.2.3    Bagaimana interpretasi dari lakon Mentang-mentang dari New York?

1.3 Tujuan Penelituan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini dapat dikelompokan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:
1.3.1        Tujuan umum
Untuk menyajikan kepada pembaca mengenai wacana sosiologi tokoh dalam lakon Mentang-mentang dari New York

1.3.2        Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengetahui unsur intrinsik dalam lakon Mentang-mentang dari New York
1.3.2.2 Mengetahui konflik dalam lakon mentang-mentang dari
New york
1.3.2.3 Mengetahui interpretasi dari lakon Mentang-mentang dari New York



BAB II
Isi

2. 1 Deskripsi Teoretis
2.1. 1 Hakikat Struktur Naskah Drama
2.1.1.1 Pengertian Naskah Drama
Menurut aristoteles dalam Luxemburg (1984:107), terdapat dua jenis sastra, yaitu yang bersifat cerita dan bersifat drama. Teks-teks yang menampilkan satu orang juru bicara saja, yang kadang-kadang dapat mengajak tokoh-tokoh lain untuk membuka mulutnya, tetapi yang pada pokoknya merupakan sang dalam tunggal termask jenis naratif. Teks-teks yang menampilkan berbagai tokoh denan ungkapan bahasa mereka sendiri-sendiri termasuk jenis dramatik. 
Yang dimaksud dengan teks drama atau naskah drama adalah semua teks yang bersifat dialog-dialog yang isinya membentangkan sebuah alur (Luxemburg, 1984:158). Drama memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan genre astra lain seperti prosa dan puisi karena tujuan naskah drama sendiri adalah untuk dipentaskan baik secara pertunjukan teater maupun hanya sekedar dramatic reading.
Secara umum, naskah drama adalah sebuah teks cerita yang mengisahkan tentang sebuah atau lebih konflik yang isinya adalah percakapan atau dialog antar tokoh yang satu dengan tokoh yang lain ditambah dengan narasi untuk memperjelas jalan cerita dari teks drama itu sendiri.
           
2.1.1.2 Pengertian Strukturalisme
Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya. (Wellek, 1989: 155)



            2.1.2 Hakikat Sosiologi
            2.1.2.1 Pengertian Sosiologi Sastra
Abrams (1981:178) mengatakan sosiologi sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang  utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Kesemuanya itu terangkum dalam aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang dan lingkungan di mana ia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperan  mengungkapkan isi sebuah karya sastra.
Dalam makalah ini, konflik yang terjadi antara tokoh utama, Ikah dengan masyarakat jelambar lain terutama ibu dan kawan-kawannya adalah pengaruh dari etnosentrisme dimana Ikah selalu membanggakan tradisi barat yang baru saja ia bawa ke tanah kelahirannya. Konsep etnosentrisme sering kali dipakai bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat atau ideologi yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior dari pada kelompok etnik atau ras lain. Akibat ideologi ini, maka setiap kelompok etnik atau yang memiliki sifat etnosentrisme yang tinggi akan berprasangka, melakukan stereotyping, diskriminasi, dan jarak sosial terhadap kelompok lain. Etnosentrisme kadang-kadang demikian kuat sehingga menjadi identitas suatu etnik dan mempengaruhi komunikasi antar budaya. (Liliweri, 2007 : 91-92)




2.1.3 Konflik Dalam Lakon Mentang-mentang dari New York
2.1.3.1 Unsur Intrinsik dalam Lakon Mentang-mentang dari New York
Menurut Emzir (2016:262) ada beberapa aspek yang mendukung berdirinya sebuah naskah lakon antara lain alur, perwatakan, dialog, konflik, dan jenis drama.
alur adalah rentetan peristiwa yang terjadi, yang membangun cerita dari awal sampai akhir. Effendi (1974: 165) Emzir (2016:262)  berpendapat bahwa alur drama terdiri dari lima bagian perkembangan, yaitu (1) pembeberan mulai, introduksi, eksposisi; (2) penggawatan/komplikasi; (3) klimaks/puncak kegawatan; (4) peleraian; dan (5) penyelesaian/konklusi.
Dalam lakon Mentang-mentang dari New York, tahap pertama dari alur yang dikemukakan barusan terdapat di adegan pertama pada narasi berikut:
“Bi Atang ini orangnya agak gemuk, jiwanya kuno. Tapi tunduk terhadap kemauan anak perempuannya yang sok modern. Oleh karena itu maklum kalau baju rumahnya gaya baru. Apronnya berlipat-lipat, dan pOtongan rambutnya yang di “modern”kan itu tampak lebih tidak patut lagi.”
Kemudian perkembangan pada tahap pertama juga masih dengan kuat dikenalkan. Dari adegan ketika Anen (tokoh pendamping sebagai tunangan Ikah) berdialog dengan Bi Atang soal keadaannya dan ibunya yang saat ini tinggal di karawang. Anen merupakan teman kecil Ikah yang keluarganya merupakan penduduk jelambar dan kini pindah ke karawang.
Kemudian perkenalan tokoh utama dalam lakon ini, Ikah dikenalkan oleh tokoh Bi Atang melalui dialognya ketika adegan bersama Anen.
“anak itu baru datang senin kemarin, tapi coba lihat sudah berapa banyak badan bibi dipermaknya. Lihat! Waktu pertama kali ia datang dan melihat bibi, ia marah-marah, katanya, bibi harus segera bersalin rupa. Bibi yang sudah tua bangka ini harus dipermak, biar jangan kampungan. Bibi pagi-pagi sekali sudah diseret ke kap salon, dan kamu bisa lihat hasilnya. Saksikan perubahan apa yang  telah menimpa diriku secara revolusioner ini! Rambutku dibabat habis, alis dicukur, kuku dicat, dan kalau bibi pergi ke pasar harus memakai gincu pipi dan lipstick. Bayangkan, apa nggak persis kodok goreng? Semua teman-teman bibi di pasar, di jalanan pada menertawakan bibi. Mereka pikir bibi sudah agak saraf, masa tua bangka begini di coreng moreng. Kaya tante girang saja. Tapi apa musti perbuat? Kamu tahu sendiri adatnya si Ikah, bibi nggak bisa berselisih paham dengan dia. Katanya bibi harus belajar bersikap dan bertingkah laku seperti seorang wanita amerika. Seperti first lady! Seperti seorang metropolit, karena bibi punya anak yang pernah tinggal di amerika. Busyet deh, apa bibi ini kelihatan kayak orang amerika.”
Dari beberapa cuplikan dialog di atas dapat disimpulkan bahwa tahap pengenalan pada alur naskah drama sudah jelas tentang kondisi perubahan Bi Atang dan Ikah yang baru saja pulang dari new york. kemudian, masuk pada tahap kedua dalam alur naskah drama yaitu penggawatan/komplikasi. Dalam lakon ini, konflik awal dimulai dari perubahan Ikah yang membuat teman-temannya merasa tidak nyaman dan merasa bahwa Ikah yang sekarang sangat berbeda dengan Ikah yang biasanya terbukti dari dialog berikut.
“Fatimah: ah … kukira kita ini tak seharusnya berada di tempat ini, kawan-kawan, kita ini asing bagi nona new york yang luar biasa ini.”
“Anen: apa anak gadis ini sungguh-sungguh Ikah yang dulu jualan apem itu? Aku pikir dia ini Ikah jadi-jadian.”

Kemudian, konflik selanjutnya tentang Anen yang hendak menanyakan hubungannya dengan Ikah yang sebelumnya sudah memasuki tahap pertunangan. Anen hendak menjelaskan tentang kelanjutan hubungannya dengan Ikah yang di sisi lain ia juga telah bertunangan dengan Fatimah. Setelah Anen berusaha membuka percakapannya dengan Ikah tentang pertunangannya, Ikah malah ingin membuat itu sebagai angin lalu, dalam dialog berikut.
“ya, itulah gaya new york, Anen. Lupakanlah! Tidak ada sesuatu pun yang harus dihadapi dengan berkerut-kerut dahi. Tidak ada sesutupun yang harus kita selesaikan secara berlebih-lebihan. Kita jangan terlalu banyak membuang-buang waktu, karena di amerika bahkan hampir seluruh bagian muka bumi, kita telah dilanda krisis dan energy. Oleh karenanya, malam ini, berikanlah seluruh hatimu dan seluruh kejantananmu kepadaku, besok lupakanlah! Dan apabila kita berjumpa lagi, senyumlah, berjabatan tangan dan anggaplah semua itu sebagai sebuah permainan yang amat menyenangkan. Itulah gaya new york.”

Setelah adegan ini, Anen merasa dilecehkan sebagai seorang lelaki. Kemudian Fatimah datang bersama Otong yang sebelumnya keluar dari panggung. Setelah mengetahui hubungan Anen dengan Ikah sudah berakhir, akhirnya Fatimah mengumumkan bahwa ia dan Anen sebenarnya sudah bertunangan.
Tahap ketiga dari alur naskah drama adalah klimaks atau puncak kegawatan. Pada lakon ini, setelah Fatimah mengumumnkan pertunangannya dengan Anen, Ikah merasa tidak terima. Padahal baru saja Ikah mengatakan bahwa tradisi new york tidak mementingkan sebuah hubungan pernIkahan. Ikah merasa bahwa laki-laki yang bertunangan dengannya direbut oleh teman masa kecilnya. Dialog berikut menyatakan bagaimana Ikah geram akan kelakuan temannya itu.
“iya … tapi itu karena kau belumtahu duduk perkaranya. Aku tidak tahu tentang penghianatan ini! Ci! Tidak tahu mana bertunangan dengan kau padahal dia masih bertunangan dengan aku! Perempuan tidak tahu diri! Perempuan murahan! Apa aku tak boleh menolak apabila seorang lelaki yang aku cintai mencintai temannya pula?! (mendekati Anen) dan kau! Bangsat! Jahanammmm!”

Konflik mulai memanas dengan Fatimah yang merasa bahwa Ikah tidak konsisten dengan perkataannya yang sudah memutuskan untuk berteman saja dengan Anen. Kemudian adegan berikutnya semakin panas karena perdebatan Ikah dan Fatimah yang tiada habisnya hingga Ikah terjatuh karena Fatimah mendorongnya terlalu keras. Melihat situasi ini, Anen membentak dan memarahi Fatimah. Fatimah yang tidak terima akan hal itu semakin menjadi dan meluapkan kemarahannya dengan Anen dalam dialog,  “selalu membela dia! Tak pernah bela aku laki-laki macam apa itu!”
Hinga akhirnya Otong bertindak dan membela Fatimah. Pada adegan ini juga, Otong menyatakan cintanya pada Fatimah. Melihat kejadian ini, Fatimah sadar bahwa Otong adalah laki-laki yang selama ini membelanya dari dialog, “kau pun tak usah bicara lagi dengan aku! Kau telah menghina gadis yang amat kucintai!” Dari adegan ini adalah tahap selanjutnya dalam alur naskah drama, peleraian. Otong sebagai pelerai dari perdebatan yang terjadi antara Anen, Ikah dan Fatimah dengan membela Fatimah dan menyatakan cintanya.
Tahap terakhir adalah penyelesaian. Pada tahap ini, Ikah menyesal karena pertemanannya telah hancur akibat ulahnya sendiri yang berubah semenjak kepulangannya. Tiba-tiba, Ikah yang semula identik dengan membanggakan gaya new york-nya kembali menjadi Ikah yang lahir dari tanah jelambar. Dari dialog, “betul, Anen! Aku ini Ikah yang sungguh-sungguh, bukan Ikah yang jadi-jadian! Kau masih ingat padaku bukan? Ketika kita sama-sama berenang di empang waktu anak-anak? Dan kini aku telah kembali untukmu Anenku sayang!”
Melihat kejadian ini, Anen tergugah kembali hasratnya untuk memiliki Ikah lagi karena gadis yang ia cintai sudah kembali.
Setelah alur, poin selanjutnya dalam unsur intrinsik naskah drama adalah perwatakan. Berdasarkan beberapa dialog yang diucapkan oleh masing-masing tokoh dalam lakon Mentang-mentang dari New York, maka didapat perwatakan dari tokoh Ikah adalah orang yang ramah. Diketahui dari dialog, “ia begitu canggung bukan? Tapi tak apalah saying, jangan bersedih hati mari, duduklah bersama kami”. Ikah juga memiliki watak sebagai orang yang sombong, diketahui dari dialog “aku baru sadar, bahwa bukan, bukan aku masih di sana, aku tidak lagi berada di new york, tapi disebuah kampung yang kotor dan udik, jelambar … !”
Karakter temperamental juga dimiliki Ikah karena salah satu dialog yang berbunyi, “oh … aku tak pernah merasa terhina seperti ini selama hidupku! Kamu binatang! Aku hajar kamu yang berani-beraninya menghina aku!”
Tokoh kedua adalah Bi Atang yang memiliki watak sebagai orang yang mudah terpengaruh. Dialog “kemarin rambut ini bibi pOtong di kap salon, biar kelihatan modern, kata si Ikah, apa kelihatannya sudah cukup mengerikan?”, dan dialog “si Ikah tidak suka aku dipanggil Bi Atang, kampungan! Katanya, aku harus mengatakan kepada setiap orang supaya mereka memanggilku nyonya aldilla, dan katanya lagi, panggilan itu lebih beradab daripada Bi Atang. Maka dari itu, khususnya kalau di muka si Ikah kamu harus memanggilku nyonya aldilla, paham?”
Anen sebagai karakter selanjutnya memiliki watak sebagai orang yang ramah, diketahui dari dialog “wah jangan bi, jangan diganggu, biar saja. Lagi pula saya datang ke sini lain hari.”Anen juga merupakan seseorang yang jujur. “ah … seharusnya aku tidak usah mengatakannya kepadamu dan inilah akibat aku terlalu jujur kepadamu!” Dialog tersebut menggambarkan watak jujur yang dimiliki oleh Anen.
Karakter lainnya adalah Fatimah yang merupakan salah satu sahabat Ikah dan tunangan Anen. Fatimah digambarkan sebagai orang yang jenaka karena dapat dilihat dari dialog “membangunkannya? Busyet! Apa tengah hari begini dia masih bermimpi?” Fatimah juga merupakan gadis yang posesif karena adegannya yang berkelahi dengan Ikah. Dialog yang membuktikannya berbunyi, “Ikah! Aku peringatkan kepadamu! Jangan ganggu dia! Dia adalah tunanganku!”
Terakhir terdapat Otong sebagai karakter lainnya. Otong adalah orang yang jenaka dan dapat dilihat dari adegannya ketika pertama kali bertemu kembali dengan Anen dan berkata, “kaya bapak moyang loe, lihat dong pakaian loe itu, kayak tambang emas (mereka ketawa) berapa kios nih loe sikat habis?” Kemudian Otong juga merupakan seseorang yang ksatria. Ia mau membela Fatimah karena ia merasa mencintainya. “kau jangan coba-coba sentuh Fatimah, yah!” Adalah dialog yang dilontarkan Otong kepada Anen ketika ia hendak membela Fatimah.
Poin selanjutnya dalam unsur intrinsic sebuah naskah drama adalah dialog. Dialog dapat dibagi menjadi dua fungsi yakni, (1) dialog harus dapat mempertinggi nilai gerak dan (2) dialog harus baik dan bernilai tinggi. Pada lakon Mentang-mentang dari New York, fungsi pertama dari sebuah dialog dapat kita lihat pada bagian-bagian narasi yang ada dalam naskah.
“apa? Rasain nih! (memukul Anen sampai rubuh)”dialog yang disuarakan oleh tokoh Otong barusan diperjelas dengan keterangan gerak tubuh yaitu dengan memukul tokoh lainnya. Begitupun dengan dialog-dialog lainnya seperti, “(bangkit dan memeluk Otong) Otong … ! Kau telah menyelamatkan aku. Kau baik sekali! Kau … (menangis)”dan (Ikah dengan angkuhnya bangkit dan pergi ke jendela, Anen duduk di lantai dan termangu).
Unsur selanjutnya dalam unsur intrinsic drama adalah konflik yang akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

2.1.3.2 Konflik dalam lakon Mentang-mentang dari New York karya Marcelino Acana Jr.
Selanjutnya dalam unsur instrinsik naskah drama adalah konflik. Menurut Hamzah (1985:123) konflik merupakan sumber gerak dramatic. Konflik itu bersumber dari manusia. Konflik tidak hanya terjadi antara seorang dengan orang lain. Tertapi dapat pula terjadi antara orang dengan masyarakat, antara orang dengan alam, antara orang dengan suatu keyakinan, dan antara orang dengan batinnya. Dalam naskah ini, konflik yang terjadi adalah antara orang dengan masyarakat karena dapat kita ketahui pada adegan awal dimana Ikah yang tidak diterima oleh teman-temannya karena membawa budaya barat yang tidak cocok dengan kehidupan di rumahnya. Pada dialog “Ah … kukira kita ini tak seharusnya berada di tempat ini, kawan-kawan, kita ini asing bagi nona New York yang luar biasa ini.” Menunjukan konflik antar masyarakat Jelambar dengan Ikah sebagai masyarakat baru kota New York yang tidak memiliki kecocokkan.
Konflik antara orang dengan suatu keyakinan juga dapat kita lihat pada adegan dimana teman-teman Ikah yang baru saja datang dengan niat untuk menemui Ikah tetapi Ikah malah membanggakan budayanya. Dari dialog-dialog yang dibawakan Ikah dengan menunjukan keyakinannya akan budaya New York yang lebih baik dari budaya Jelambar seperti “Dengar … dengarlah kata-kataku ini sahabat-sahabatku yang udikan … ! sekarang ini New York musim semi … musim semi jatuh di New York! Bunga-bungaan baru saja bermunculan aneka warna di Central Park. Di Staten Island, rumput-rumputan menghijau bak permadani. (TERTAWA KECIL) Oh … kami mempunyai kebiasaan lucu di  New York, aduuh lucunya! Suatu kebiasaan yang sudah sangat tua sekali dan menyenangkan. Apabila musim semi tiba setiap tahun, kami orang-orang New York yang terkenal itu pergi kesebuah pohon tua yang tumbuh dekat meriam, semacam ziarah, katakanlah begitu, dan itulah satu-satunya pohon yang tumbuh sejak New York itu bernama New York, dan kami orang-orang New Yorkyang menyebut pohon terkenal itu “pohon kita”. Setiap kali musim semi tiba, kami pergi ke tempat itu untuk mengucapkan selamat kepada pohon kita itu, sambil berjaga-jaga menantikan bertunasnya helaian daun hijau yang pertama kali, dengan begitu, pohon itu telah menjadi lambing bagi kami, tentang New York yang terkenal itu. Ia tak pernah mati. Ia senantiasa abadi tumbuh dan tumbuh dengan setianya (IA TERSADAR DAN TIBA-TIBA TERSADAR DARI MIMPINYA) Tetapi maaf, maafkan aku kawan-kawan, aku telah menuruti perasaanku saja. Dan pikiranku terlalu jauh menerawang kepada hal-hal yang tak mungkin bisa kalian bayangkan sebagai orang Jelambar. Tidak pasti kalian tidak akan bisa merasakan bagaimana perasaanku terhadap pohon kita yang kini berada nun jauh di sana, di seberang lautan.”
Dan terakhir terdapat konflik antara manusia dengan batinnya. Konflik ini ditemukan dalam ketiga tokoh yang ada dalam lakon Mentang-mentang dari New York. Dialog “Tapi, sulit, bagaimana aku bisa membicarakannya dengan dia sekarang ini?” yang diutarakan Anen kepada Fatimah karena ketidakberaniannya mengatakan kelanjutan hubungannya dengan Ikah merupakan salah satu konflik batin yang dirasakan oleh tokoh pada lakon ini.Tokoh Fatimah juga memiliki dialog-dialog yang menyatakan konflik batin salah satunya adalah, “Tidak! Aku benci padanya! Aku tak ingin melihat lagi seumur hidupku! (MEMBUKA RINGNYA DAN MELEMPARKAN KEPADA ANEN) Ini! Aku kembalikan barangmu!” Kemudian tokoh Ikah yang dari awal sudah menunjukan kegengsiannya untuk kembali menjadi warga jelambar. Dialog yang dibawakannya adalah “Jangan sebodoh itu Fatimah! Kamu jangan menyama-nyamakan pohon kitamu itu dengan pohon kitaku!”
Terakhir yaitu tokoh Otong yang memiliki konflik dalam batinnya dengan menyembunyikan perasaan cintanya pada Fatimah. Dialog “Kau pun tak usah bicara lagi dengan aku! Kau telah menghina gadis yang amat kucintai!” menunjukan perasaan Otong yang sebenarnya pada Fatimah.

2.1.3.3 Interpretasi lakon Mentang-mentang dari New York
Setelah meneliti naskah lakon Mentang-mentang dari New York karya Marcelino Acana Jr.  dapat diinterpretasikan bahwa naskah lakon ini dapat dikaji melalui pendekatan sosiologi. Pasalnya naskah tersebut memiliki cirri khas dalam perbandingan sosial antara suku satu dengan suku lainnya yang pada naskah ini adalah sosiologi warga Jelambar dan budaya masyarakat New York.
Dalam naskah lakon ini juga ditekankan tentang mimikri dari tokoh Ikah yang semula merupakan seorang warga kelahiran Jelambar dan berubah setelah mengenal budaya New York. Mimikri yang dialami Ikah merupakan pembelaan atas budaya yang dianggapnya lebih agung dan lebih baik daripada budaya lainnya.




BAB III
Kesimpulan

            Dalam penelitian ini yang menjadi focus penulis adalah konflik yang ada dalam lakon Mentang-mentang dari New York karya Marcelino Acana Jr. Berdasarkan penelitian yang dikaji melalui pendekatan structural untuk mengetahui konflik apa yang terdapat pada lakon ini, dapat diketahui beberapa hal penting tentang pengertian naskah drama yaitu semua teks yang bersifat dialog-dialog yang isinya membentangkan sebuah alur (Luxemburg, 1984:158). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang. Abrams (1981:178) mengatakan sosiologi sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang  utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju.
Kemudian strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya. (Wellek, 1989: 155).
Kemudian dapat diketahui unsur intrinsic dalam naskah lakon ialah alur, perwatakan, dialog, konflik, dan jenis drama yang dikemukakan oleh Emzir (2016:262) ada beberapa aspek yang mendukung berdirinya sebuah naskah lakon antara lain alur, perwatakan, dialog, konflik, dan jenis drama. Dalam naskah lakon ini Pasalnya naskah tersebut memiliki cirri khas dalam perbandingan sosial antara suku satu dengan suku lainnya yang pada naskah ini adalah sosiologi warga Jelambar dan budaya masyarakat New York.
Dalam naskah lakon ini juga ditekankan tentang mimikri dari tokoh Ikah yang semula merupakan seorang warga kelahiran Jelambar dan berubah setelah mengenal budaya New York. Mimikri yang dialami Ikah merupakan pembelaan atas budaya yang dianggapnya lebih agung dan lebih baik daripada budaya lainnya.





DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. Teori Pengantar Fiksi. Yogyakarta: Hanindita.

Emzir, dan Saifur Rohman. 2013. Teori Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Press.

Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Luxemburg, Jan Van. 191984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Riantiarno, N. 2011. Kitab Teater. Jakarta: Grasindo.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia

www.gibsaa.blogspot.co.id (Diunduh pada 2 Juli 2018) Naskah Drama
Mentang-mentang dari New York.















Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Hai, Bima, Saya Siti Fatimah Lubis. Penelitian yang bagus. Namun yang perlu ditambah adalah adanya daftar tokoh-tokoh lakon drama dalam mindmap, apakah itu antagonis, protagonis, dll. Terimakasih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PENOKOHAN DALAM CERPEN MALAIKAT JUGA TAHUKARANGAN DEWI LESTARI DANMAAFKAN BUNDA,ANAKKU!” KARANGAN IRNA SYAHRIAL : KAJIAN INTERTEKSTUAL (Oleh: Anisa Yulicahyanti)

PENOKOHAN DALAM CERPEN  MALAIKAT JUGA TAHU KARANGAN DEWI LESTARI DAN MAAFKAN BUNDA,ANAKKU!”  KARANGAN IRNA SYAHRIAL : KAJIAN INTERTEKSTUAL ABSTRAK Karya sastra sebagai proses kreatif yang merupakan gambaran masyarakat dibentuk oleh pandangan sang pencipta. Sebuah karya sastra dapat pula menjadi contoh atau sandaran bagi karya sastra yang lahir berikutnya. Pada c erpen Malaikat Juga Tahu karya Dewi Lestari dan cerpen  Maafkan Bunda,Anakku! Karya Irna Syahrial   diindikasikan mengandung perbedaan serta persamaan didalamnya. Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penokohan dari cerpen Malaikat Juga Tahu karya Dewi Lestari dan cerpen  Maafkan Bunda,Anakku! Karya Irna Syahrial  Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan kajian intertekstual yang dikemukakan oleh Pradopo. Adapun dalam penelitian ini didapat hasil yaitu adanya persamaan tokoh kedua cerpen yang menekankan tokoh yang menderita Down Syndrom. Dalam kedua cerpen ini ditemukan  bahwa masyarak

Soekarno Sang Guru Bangsa: Resensi Buku Biografi

Ditulis oleh Ade Irma S iapa yang tak kenal dengan sosok fenomenal yang pernah dimiliki bangsa ini. Dari Sabang hingga Merauka, bahkan ditiap penjuru pun, jika disebutkan nama tokoh ini tentu mengetahuinya. Siapa lagi jika bukan Ir. Soekarno. Presiden pertama Indonesia yang tak hanya dikenal di negerinya sendiri melainkan pula di dunia internasional. Jika kita belajar mengenai sejarah kemerdekaan Indonesia, pastilah nama beliau tidak berhenti disebutkan. Secara umum, Soekarno memang dikenal sebagi tokoh kemerdekaan Indonesia sekaligus presiden pertama. Namun, seberapa jauh kita mengenal sosok penting yang pernah dimiliki oleh bangsa ini? Jika kita ingin mengenal lebih jauh tentang Soekarno, banyak sekali sumber yang dapat membantu. Salah satunya adalah buku biografi. Buku biografi yang berjudul Soekarno Sang Guru Bangsa adalah karya dari Anom Whani Wicaksana. Diterbitkan oleh C-Klik Media pada tahun 2018. Dengan jumlah halaman 210 dan harga buku Rp39.000,00. Anom sendiri