IDEOLOGI PENGARANG DALAM CERPEN PERJAKA TUA KARYA KEN HANGGARA: KAJIAN SOSIOLOGI PENGARANG Oleh Ridwan Alsyirad
IDEOLOGI PENGARANG DALAM CERPEN PERJAKA TUA KARYA KEN HANGGARA: KAJIAN SOSIOLOGI PENGARANG Oleh Ridwan Alsyirad
Abstrak
Karya sastra sangat menarik untuk dikaji dan dibicarakan, termasuk mengkaji karya sastra dengan menghubungkannya dengan sosiologi. Sosiologi dan sastra meskipun dua bidang ilmu yang berbeda, ternyata bisa menjadi bidang ilmu yang baru. Sosiologi sastra menghubungkan aspek-aspek sosial yang tedapat dalam sebuah masyarakat. Penelitian ini mengungkapkan mengenai ideologi pengarang yang pengarang terapkan pada tokoh Han dalam cerpen Perjaka Tua karya Ken Hanggara dengan pendekatan teori sosiologi sastra dari Ian Watt. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian mengemukakan bahwa menikah bukanlah menjadi tujuan akhir seseorang ketika sudah sukses dan memiliki segalanya. Menikah juga bukan semata-mata untuk memiliki keturunan atau memiliki anak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengarang dalam cerpen perjaka tua karya ken hanggara. Objek peneltian ini cerpen karya ken hanggara. Fokus penelitian adalah sosiologi pengarang
Kata kunci: sosiologi sastra, Han, cerpen perjaka tua karya ken hanggara
Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang masalah
Sosiologi sastra berarti mengkaji karya sastra dengan cara menghubungkannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio kultural terhadap sastra (Damono 1978: 2). Selain itu menurut Damono (1978:6) sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. sementara Swingewood (dalam Faruk 1994:1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial.
Wellek dan Warren (1956:84) membuat klasifikasi sebagai berikut: pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. (1984:3)
Sebagaimana sosiologi, sastra sangat berhubungan dengan masyarakat dan tidak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan. Ian Watt (1964: 300-313) dalam Damono (1978:3-4) mengklasifikasi tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, yang secara keseluruhan merupakan bagan berikut:
a. Konteks sosial pengarang. Konteks sosial pengarang ada hubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastra. Pendekatan ini meliputi: bagaimana mata pencaharian pengarang, sampai di mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi dan masyarakat yang menjadi tujuan pengarang.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat; sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Hal pokok yang perlu mendapat perhatian adalah, 1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra itu di buat, 2) sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam mengagambarkan keadaan masyarakat, 3) sejauh mana genre sastra yang dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili seluruh masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra. Meneliti sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Tiga hal yang menjadi perhatian, 1) sejauh mana sastra dapat berfungsi untuk merombak masyarakat, 2) sejauh mana sastra hanya sebagai hiburan, 3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1dan 2 di otak (Faruk 1994:4-5). Sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi keduanya saling melengkapi.
Sosiologi sastra dianggap sebagai pendekatan ekstrinsik dengan pengertian agak negatif (Damono 1978:3). Menurut (Wellek dan Warren 1995:111) mengemukakan hubungan sastra yang erat kaitannnya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang, sastra tak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Tetapi tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara konkret dan menyeluruh mengekspresikan perasaannya. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, yang semuanya itu merupakan struktur sosial merupakan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan tentang mekanisme sosialisasi proses pembudayaan yang menempatkan anggota ditempatnya masing-masing.
Sosiologi adalah suatu telaah sosial terhadap sastra. Sosiologi dapat diartikan sebagai pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Wellek dan Warren 1995 :109). Sosiologi mempermasalahkan sesuatu di sekitar sastra dan masyarakat yang bersifat eksternal mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, politik (Wellek dan Warren 1995 :110). Dalam pendekatan sosiologi ini adalah meskipun pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, belum tentu menyuarakan kemauan masyarakat. Pendekatan sosial memiliki segi-segi manfaat, berguna apabila kritikus sendiri tak melukiskan segi-segi intrinsik yang membangun sastra, di samping memperhatikan sosiologi sastra menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreatifitas dengan memanfaatkan faktor imaji (Wellek dan Warren 1995 : 110). Pendekatan sosiologi umum dilakukan terhadap hubungan sosial sastra dan masyarakat sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan (Wellek dan Warren 1995 :110).
Berdasarkan klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi, kemasyarakatan mempunyai cakupan luas, beragam, rumit yang menyangkut pengarang, teks sastra, pembaca. Hubungan nyata antara sastra dan masyarakat yang bersifat deskriptif dapat diklasifikasikan menjadi tiga: sosial sastra pengarang yang memasalahkan sastra itu sendiri sebagai bidang penelaahan. Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Menurut Wellek dan Warren dalam Damono (1978:3) pendekatan sosiologi sastra diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Sosial pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
2. Sosial sastra yang memasalahkan karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
3. Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial sastra.
Menurut Grebstein, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari fakta-fakta sosial yang kultural yang rumit.
Untuk memahami karya sastra secara lengkap, Grebstein ( Damono 1978:4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkaplengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Grebstein dalam Damono (1978:4) sebagaimana sosiologi sastra berusaha dengan manusia dalam masyarakat dalam usaha manusia menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. (Damono 1978:8). Maka karya sastra perlu dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit atau kompleks dan bagaimanapun, karya sastra bukan suatu gejala yang tersendiri. Menurut Damono (1978:8) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan karya sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif, sedang sastra bersifat afektif.
Persamaan objek yang digarap menyebabkan ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya nanti sosiologi akan dapat menggantikan kedudukan karya sastra (novel atau cerpen). Namun, ada satu hal yang perlu diingat dan merupakan sesuatu yang jelas dari sastra yaitu punya satu kekhasan atau keunikan yang tidak dimiliki oleh sosiologi. Oleh sebab itu, keduanya tampak memiliki kemungkinan yang sama untuk berkembang, saling bekerja sama dan melengkapi. Meskipun sosiologi dinilai tidak akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik yang terdapat dalam karya sastra, namun sosiologi dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi pemahaman tentang sastra maupun telaah sosial memerlukan metode dan orientasi yang berbeda-beda (Damono 1978:8).
Sejak beberapa abad yang lalu beberapa ahli sosiologi telah mencoba menyinggung sastra, namun pada hakikatnya mereka masih menganggap sastra sekadar sebagai bahan untuk menyelidiki struktur sosial. Perkembangan sosiologi sangat pesat meliputi sosiologi agama, sosial, pendidikan, sosial, politik, dan sosiologi, ideologi. Sosiologi sastra ternyata muncul sangat terlambat. Sampai saat ini harus diakui bahwa sosiologi sastra belum sepenuhnya merupakan suatu himpunan pengetahuan yang mapan, barang kali kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa yang dihadapi sosiologi sastra adalah unikum yang bisa didekati dengan cara yang subjektif (Damono 1978:8).
Masalah pokok sosiologi sastra adalah karya sastra itu sendiri, sebagai aktifitas kreatif dengan ciri yang berbeda-beda.( Ratna 2003:8). Sebuah dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreatifitas dan imaji. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya sastra bahkan juga karya-karya yang 26 termasuk ke dalam genre yang paling absurdpun merupakan prototipe. Kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dan kualitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional.
Karya sastra memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta (Ratna 2003:35- 36) Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tak bisa dipahami diluar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial. Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat terhadap struktur sosial yang menghasilkan nya (Ratna 2003:11).
Nampaknya teori sosiologi sastra tidak semata-mata digunakan untuk menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau disalin pengarang ke dalam sebuah karya sastra. Teori ini pada perjalanannya juga digubahkan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubungan antara gejala sosial yang 27 timbul di sekitar pengarang dengan karyanya. Oleh karena itu teori-teori sosiologi yang digunakan untuk menganalisis sebuah cipta sastra tidak dapat mengabaikan eksistensi pengarang, dunia dan pengalaman batinnya, serta budaya tempat karya itu dilahirkan. Jadi sosiologi sastra adalah telaah yang meghubungkan sastra dengan sosiologi. Karya sastra sebagai gambaran masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya seperti saat karya sastra itu dibuat. Latar belakang pengarang tidak bisa lepas dalam penciptaan sebuah karya sastra.
Pengaruh timbal balik antara pengarang, karya sastra, masyarakat (pembaca) tidak dapat dipisahkan dari kajian sosiologi sastra. Karya sastra juga tidak dapat lepas dari lingkungan, peradaban, budaya saat karya itu diciptakan. Dalam penelitian ini menggunakan teorei sosiologi sastra Wellek dan Warren yaitu sastra sebagai dokumen dan potret kenyataan atau ekspresi kehidupan, pengalaman, ideologi pengarang tergambar dalam karyanya. Latar belakang kehidupan pengarang tidak terlepas dari kehidupan pesantren sampai saat karya sastra ini dibuat. Secara tidak langsung pengalaman hidup pengarang tergambar dalam karyanya, bagaimana kehidupan yang ada dalam sebuah masyarakat pesantren ada dan berkembang, bagaimana aspek-aspek sosial yang kompleks yang membedakannya dengan masyarakat di luar pesantren.
Kejadian atau peristiwa kehidupan dalam masyarakat dapat direkam oleh pengarang melalui daya kreasi dan imajinasi. Kejadian tersebut dijadikan karya sastra yang menarik dan bermanfaat. Karya sastra digunakan pengarang untuk mengajak pembaca ikut melihat, merasakan, menghayati makna pengalaman hidup yang pernah dirasakannya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bisa menjadi gambaran masyarakat di sekitar pengarang, sekaligus tanda yang menunjukkan situasi dan kondisi lingkungan pengarang. Sebuah karya sastra lahir dari situasi yang terjadi di sekitar pengarang.
Karya sastra dikatakan sebagai suatu karya yang menarik, dapat dilihat dari cara pengarang dalam mengungkapkan gagasannya yang salah satunya yaitu dalam penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa yang menarik dan nilai estetik yang tinggi, dapat membuat pembaca semakin tertarik pula untuk mengetahui isi dan makna karya sastra tersebut. Karya sastra dengan memakai medium bahasa dapat mengungkapkan kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial misalnya: tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol dan mitos (Wellek dan Warren 1995:109) Karya sastra dapat menggambarkan atau merefleksikan situasi sosial dalam masyarakat. Hal itu menentukan kemungkinan dinyatakannya nilai-nilai estetis, tetapi tidak secara langsung menentukan nilai-nilai itu sendiri. Secara garis besar, bentuk-bentuk seni apa yang mungkin timbul pada suatu masyarakat, dan mana yang tidak mungkin muncul (Wellek dan Warren 1995:127).
Naluri sastra dan kebebasan bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan kebebasan (Wahid 2001:34). Salah satu bentuk karya sastra adalah cerita pendek atau lebih dikenal dengan cerpen. Cerita pendek (cerpen) dalam kesusastraan Indonesia merupakan rangkaian peristiwa yang menggambarkan kehidupan seseorang pada saat tertentu.
Masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sering dijadikan sebagai bahan cerita oleh pengarang. Biasanya apa yang terjadi dalam lingkungan sosial di sekitar pengarang memicu sebuah gagasan atau ide pokok yang kemudian oleh pengarang diolah dalam bentuk sebuah cerita yang imajinatif yang kemudian melahirkan karya sastra. Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam masyarakat yang berwujud ide atau tema yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Ide atau tema yang ada dalam sebuah cerpen sangat beragam.
Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menceritakan sebuah peristiwa secara singkat. Dapat dikatakan bahwa cerpen menceritakan kehidupan seorang tokoh pada waktu tertentu atas sebuah peristiwa yang dialaminya. Jalan cerita dalam sebuah cerita pendek (cerpen) biasanya tersusun secara logis dan kronologis sesuai dengan pendapat Luxemburg ( 1984: 111) bahwa pada umumnya karya sastra mempunyai isi yang bersifat kronologis dan logis. Karya sastra diciptakan berdasarkan urutan peristiwa dan urutan kejadian yang menjadi dasar penciptaannya, yang kemudian oleh pengarang dengan kreasi dan daya imajinya terciptalah sebuah karya sastra.
Cerita pendek (cerpen) merupakan karya sastra fiktif. Menurut Nurgiyantoro (1995:3) fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Karya sastra menggambarkan pula sikap hidup pengarang dan gejala-gejala sosial yang terjadi di sekitar mereka. Keterkaitan antara karya sastra dengan keadaan masyarakat atau lingkungan terjadi karena karya sastra merupakan hasil dialog antara pengarang dengan lingkungannya. Hal tersebut menyebabkan karya sastra yang dihasilkan pengarang akan diwarnai oleh budaya masyarakat tempat karya sastra dilahirkan. Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam masyarakat yang berwujud ide atau tema yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Ide atau tema yang ada dalam sebuah cerpen sangat beragam.
2. Rumusan Masalah
a. Sosial pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
b. Sosial sastra yang memasalahkan karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
c. Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial sastra.
3. Tujuan
Karya sastra memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta (Ratna 2003:35- 36) Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tak bisa dipahami diluar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial. Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat terhadap struktur sosial yang menghasilkan nya (Ratna 2003:11).
Bab II
Landasan Teori
Sosiologi sastra dianggap sebagai pendekatan ekstrinsik dengan pengertian agak negatif (Damono 1978:3). Menurut (Wellek dan Warren 1995:111) mengemukakan hubungan sastra yang erat kaitannnya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang, sastra tak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Tetapi tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara konkret dan menyeluruh mengekspresikan perasaannya. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, yang semuanya itu merupakan struktur sosial merupakan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan tentang mekanisme sosialisasi proses pembudayaan yang menempatkan anggota ditempatnya masing-masing.
Bab III
Pembahasan
Sebagaimana sosiologi, sastra sangat berhubungan dengan masyarakat dan tidak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan. Ian Watt (1964: 300-313) dalam Damono (1978:3-4) mengklasifikasi tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, yang secara keseluruhan merupakan bagan berikut:
a. Konteks sosial pengarang. Konteks sosial pengarang ada hubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastra. Pendekatan ini meliputi: bagaimana mata pencaharian pengarang, sampai di mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi dan masyarakat yang menjadi tujuan pengarang.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat; sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Hal pokok yang perlu mendapat perhatian adalah, 1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya sastra itu di buat, 2) sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam mengagambarkan keadaan masyarakat, 3) sejauh mana genre sastra yang dipakai pengarang yang bisa dianggap mewakili seluruh masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra. Meneliti sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Tiga hal yang menjadi perhatian, 1) sejauh mana sastra dapat berfungsi untuk merombak masyarakat, 2) sejauh mana sastra hanya sebagai hiburan, 3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1dan 2 di otak (Faruk 1994:4-5). Sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi keduanya saling melengkapi.
Sosiologi sastra dianggap sebagai pendekatan ekstrinsik dengan pengertian agak negatif (Damono 1978:3). Menurut (Wellek dan Warren 1995:111) mengemukakan hubungan sastra yang erat kaitannnya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang, sastra tak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Tetapi tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara konkret dan menyeluruh mengekspresikan perasaannya. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, yang semuanya itu merupakan struktur sosial merupakan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan tentang mekanisme sosialisasi proses pembudayaan yang menempatkan anggota ditempatnya masing-masing.
Sosiologi adalah suatu telaah sosial terhadap sastra. Sosiologi dapat diartikan sebagai pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Wellek dan Warren 1995 :109). Sosiologi mempermasalahkan sesuatu di sekitar sastra dan masyarakat yang bersifat eksternal mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, politik (Wellek dan Warren 1995 :110). Dalam pendekatan sosiologi ini adalah meskipun pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, belum tentu menyuarakan kemauan masyarakat. Pendekatan sosial memiliki segi-segi manfaat, berguna apabila kritikus sendiri tak melukiskan segi-segi intrinsik yang membangun sastra, di samping memperhatikan sosiologi sastra menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreatifitas dengan memanfaatkan faktor imaji (Wellek dan Warren 1995 : 110). Pendekatan sosiologi umum dilakukan terhadap hubungan sosial sastra dan masyarakat sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan (Wellek dan Warren 1995 :110).
Berdasarkan klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi, kemasyarakatan mempunyai cakupan luas, beragam, rumit yang menyangkut pengarang, teks sastra, pembaca. Hubungan nyata antara sastra dan masyarakat yang bersifat deskriptif dapat diklasifikasikan menjadi tiga: sosial sastra pengarang yang memasalahkan sastra itu sendiri sebagai bidang penelaahan. Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Menurut Wellek dan Warren dalam Damono (1978:3) pendekatan sosiologi sastra diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Sosial pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
2. Sosial sastra yang memasalahkan karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
3. Sosial sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial sastra.
Menurut Grebstein, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari fakta-fakta sosial yang kultural yang rumit.
Untuk memahami karya sastra secara lengkap, Grebstein ( Damono 1978:4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkaplengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Grebstein dalam Damono (1978:4) sebagaimana sosiologi sastra berusaha dengan manusia dalam masyarakat dalam usaha manusia menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. (Damono 1978:8). Maka karya sastra perlu dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit atau kompleks dan bagaimanapun, karya sastra bukan suatu gejala yang tersendiri. Menurut Damono (1978:8) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan karya sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif, sedang sastra bersifat afektif.
Persamaan objek yang digarap menyebabkan ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya nanti sosiologi akan dapat menggantikan kedudukan karya sastra (novel atau cerpen). Namun, ada satu hal yang perlu diingat dan merupakan sesuatu yang jelas dari sastra yaitu punya satu kekhasan atau keunikan yang tidak dimiliki oleh sosiologi. Oleh sebab itu, keduanya tampak memiliki kemungkinan yang sama untuk berkembang, saling bekerja sama dan melengkapi. Meskipun sosiologi dinilai tidak akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik yang terdapat dalam karya sastra, namun sosiologi dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi pemahaman tentang sastra maupun telaah sosial memerlukan metode dan orientasi yang berbeda-beda (Damono 1978:8).
Sejak beberapa abad yang lalu beberapa ahli sosiologi telah mencoba menyinggung sastra, namun pada hakikatnya mereka masih menganggap sastra sekadar sebagai bahan untuk menyelidiki struktur sosial. Perkembangan sosiologi sangat pesat meliputi sosiologi agama, sosial, pendidikan, sosial, politik, dan sosiologi, ideologi. Sosiologi sastra ternyata muncul sangat terlambat. Sampai saat ini harus diakui bahwa sosiologi sastra belum sepenuhnya merupakan suatu himpunan pengetahuan yang mapan, barang kali kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa yang dihadapi sosiologi sastra adalah unikum yang bisa didekati dengan cara yang subjektif (Damono 1978:8).
Masalah pokok sosiologi sastra adalah karya sastra itu sendiri, sebagai aktifitas kreatif dengan ciri yang berbeda-beda.( Ratna 2003:8). Sebuah dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreatifitas dan imaji. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya sastra bahkan juga karya-karya yang 26 termasuk ke dalam genre yang paling absurdpun merupakan prototipe. Kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif semantis, dan kualitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional.
Karya sastra memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta (Ratna 2003:35- 36) Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tak bisa dipahami diluar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial. Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat terhadap struktur sosial yang menghasilkan nya (Ratna 2003:11).
Nampaknya teori sosiologi sastra tidak semata-mata digunakan untuk menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau disalin pengarang ke dalam sebuah karya sastra. Teori ini pada perjalanannya juga digubahkan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubungan antara gejala sosial yang 27 timbul di sekitar pengarang dengan karyanya. Oleh karena itu teori-teori sosiologi yang digunakan untuk menganalisis sebuah cipta sastra tidak dapat mengabaikan eksistensi pengarang, dunia dan pengalaman batinnya, serta budaya tempat karya itu dilahirkan. Jadi sosiologi sastra adalah telaah yang meghubungkan sastra dengan sosiologi. Karya sastra sebagai gambaran masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya seperti saat karya sastra itu dibuat. Latar belakang pengarang tidak bisa lepas dalam penciptaan sebuah karya sastra.
Pengaruh timbal balik antara pengarang, karya sastra, masyarakat (pembaca) tidak dapat dipisahkan dari kajian sosiologi sastra. Karya sastra juga tidak dapat lepas dari lingkungan, peradaban, budaya saat karya itu diciptakan. Dalam penelitian ini menggunakan teorei sosiologi sastra Wellek dan Warren yaitu sastra sebagai dokumen dan potret kenyataan atau ekspresi kehidupan, pengalaman, ideologi pengarang tergambar dalam karyanya. Latar belakang kehidupan pengarang tidak terlepas dari kehidupan pesantren sampai saat karya sastra ini dibuat. Secara tidak langsung pengalaman hidup pengarang tergambar dalam karyanya, bagaimana kehidupan yang ada dalam sebuah masyarakat pesantren ada dan berkembang, bagaimana aspek-aspek sosial yang kompleks yang membedakannya dengan masyarakat di luar pesantren.
Kejadian atau peristiwa kehidupan dalam masyarakat dapat direkam oleh pengarang melalui daya kreasi dan imajinasi. Kejadian tersebut dijadikan karya sastra yang menarik dan bermanfaat. Karya sastra digunakan pengarang untuk mengajak pembaca ikut melihat, merasakan, menghayati makna pengalaman hidup yang pernah dirasakannya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bisa menjadi gambaran masyarakat di sekitar pengarang, sekaligus tanda yang menunjukkan situasi dan kondisi lingkungan pengarang. Sebuah karya sastra lahir dari situasi yang terjadi di sekitar pengarang.
Karya sastra dikatakan sebagai suatu karya yang menarik, dapat dilihat dari cara pengarang dalam mengungkapkan gagasannya yang salah satunya yaitu dalam penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa yang menarik dan nilai estetik yang tinggi, dapat membuat pembaca semakin tertarik pula untuk mengetahui isi dan makna karya sastra tersebut. Karya sastra dengan memakai medium bahasa dapat mengungkapkan kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial misalnya: tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol dan mitos (Wellek dan Warren 1995:109) Karya sastra dapat menggambarkan atau merefleksikan situasi sosial dalam masyarakat. Hal itu menentukan kemungkinan dinyatakannya nilai-nilai estetis, tetapi tidak secara langsung menentukan nilai-nilai itu sendiri. Secara garis besar, bentuk-bentuk seni apa yang mungkin timbul pada suatu masyarakat, dan mana yang tidak mungkin muncul (Wellek dan Warren 1995:127).
Naluri sastra dan kebebasan bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan kebebasan (Wahid 2001:34). Salah satu bentuk karya sastra adalah cerita pendek atau lebih dikenal dengan cerpen. Cerita pendek (cerpen) dalam kesusastraan Indonesia merupakan rangkaian peristiwa yang menggambarkan kehidupan seseorang pada saat tertentu.
Masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sering dijadikan sebagai bahan cerita oleh pengarang. Biasanya apa yang terjadi dalam lingkungan sosial di sekitar pengarang memicu sebuah gagasan atau ide pokok yang kemudian oleh pengarang diolah dalam bentuk sebuah cerita yang imajinatif yang kemudian melahirkan karya sastra. Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam masyarakat yang berwujud ide atau tema yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Ide atau tema yang ada dalam sebuah cerpen sangat beragam.
Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menceritakan sebuah peristiwa secara singkat. Dapat dikatakan bahwa cerpen menceritakan kehidupan seorang tokoh pada waktu tertentu atas sebuah peristiwa yang dialaminya. Jalan cerita dalam sebuah cerita pendek (cerpen) biasanya tersusun secara logis dan kronologis sesuai dengan pendapat Luxemburg ( 1984: 111) bahwa pada umumnya karya sastra mempunyai isi yang bersifat kronologis dan logis. Karya sastra diciptakan berdasarkan urutan peristiwa dan urutan kejadian yang menjadi dasar penciptaannya, yang kemudian oleh pengarang dengan kreasi dan daya imajinya terciptalah sebuah karya sastra.
Cerita pendek (cerpen) merupakan karya sastra fiktif. Menurut Nurgiyantoro (1995:3) fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Karya sastra menggambarkan pula sikap hidup pengarang dan gejala-gejala sosial yang terjadi di sekitar mereka. Keterkaitan antara karya sastra dengan keadaan masyarakat atau lingkungan terjadi karena karya sastra merupakan hasil dialog antara pengarang dengan lingkungannya. Hal tersebut menyebabkan karya sastra yang dihasilkan pengarang akan diwarnai oleh budaya masyarakat tempat karya sastra dilahirkan. Cerpen dapat mengambil sesuatu dalam masyarakat yang berwujud ide atau tema yang sedang berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Ide atau tema yang ada dalam sebuah cerpen sangat beragam.
Cerpen Perjaka Tua karya Ken Hanggara bercerita tentang tokoh “Han” yang dipaksa untuk menikah oleh kedua orang tuanya, Han merasa tertekan oleh kedua orang tuanya yang mendesak untuk menikah karena mereka berpikir bahwa Han sudah berumur dan mapan serta memiliki segalanya
Sekaya apapun Han, tidak sekali-kali seorang perempuan ia peristri. Di kepalanya telanjur terpajang tulisan: bukan untuk dibeli. Betapa tidak berpikir sekonyol itu, kalau bukan saking banyaknya telepon masuk semenjak sang bapak,dengan penuh emosi, menempel selebaran bergambar pas foto beserta nomor ponsel Han tadi pagi. Seakan-akan ia dijual. Seakan-akan ia benda mati
Pengarang Perjaka Tua, dalam kutipan awal diatas mempermasalahkan mengenai ideologi sosial tokoh Han yang sudah kaya raya dan didesak untuk menikah. Dalam hal ini pengarang mencoba menceritakan bahwa sekaya apapun ia tidak akan menikah, ia masih tetap kuat pada pendiriannya yang ia pegang.
Selain itu dalam cerpen Perjaka Tua karya Ken Hanggara ini tokoh utama terus ditanya dan didesak apalagi yang ia cari selain istri, kaya sudah, bisnis sudah berjalan dengan sangat lancar, mapan sudah dan apalagi yang dicari
“kamu tidak kasihan sama Bapak, ha?!” suara lelaki tua itu ia dengar putus asa. “Tidak ada alasanmu yang masuk akal. Kekayaan macam apa yang kau tunggu? Bisnis jenis apa? Kemapanan yang bagaimana? Apa yang kau putus asakan dari-Nya? Apa yang sesungguhnya kau cari?”. Andai saja Han sanggup menjawab, mungkin dunia tidak akan rumit.
Dalam kutipan diatas pengarang meyakini bahwa menikah bukan ketika sudah kaya raya, tetapi ada masalah lain juga yang tidak ingin ia ceritakan kepada orangtuanya yang selalu mendesak agar menikah .
Sebenarnya lama ia lupakan keinginan itu. Ia bertekad mengubur jauh harapan memiliki istri, apalagi anak. Ia membayangkan, untuk membuat bapak ibunya bahagia di masa tua, ia bisa mengadopsi anak dari panti asuhan manalah. Setiap bayi adalah suci, dan bagi Han itu bisa menambal kekurangan yang bapaknya selalu katakan, “Kami tidak sabar ingin gendong cucu!”
Dalam kutipan diatas pengarang memiliki pandangan bahwa kalau cucu yang orangtua tokoh mau, tidak perlu menikah, adopsi bayi saja cukup karena pengarang menjabarkan bahwa semua anak sejatinya terlahir suci.
Han menunduk sedih, tetapi tak menangis. Sekali lagi, ia bukan sedih akan dirinya. Ia hanya mencemaskan Bapak dan Ibu. Dalam hampir setiap pertemuan keluarga, Han lebih banyak diam. Bila ada kesempatan, ia mencari tempat sepi untuk sekadar merokok, menjauh dari tanda tanya-tanda tanya yang selalu keluar dari mulut setiap orang. Seakan ada cetak biru di setiap bibir, sehingga bila suatu saat nanti kau dapati seseorangbeum berjodoh, maka kau dengan atau tanpa rasa usil ulai bertanya: “ kapan kawin?”.
Dalam kutipan diatas pengarang memiliki pandangan bahwa dengan ditanya “kapan kawin?” justru membuat orang tidak percaya diri, pertanyaan seperti itu tidak perlu dipertanyakan karena pengarang berpikir itu merupakan basa-basi yang sensitif.
“Andai saja, sekali lagi, andai saja, Han bisa menjawab. Oh, ya, kalau saja Tuhan memberinya kemampuan membaca masa depan, misalnya memberi Han izin melihat apa yang terjadi seandainya pengakuan itu ia lepas serupa membuka sangkar burung liar nan langka ke alam bebas. Apakah terjadi kematian? Apakah Bapak dan Ibu menderita tekanan batin yang lebih dalam, lantas meninggal. Sayangnya Tuhan tidak memberi yang semacam itu pada manusia. Tuhan hanya memberi ujian. Dan ujian bagi Han—ujian terberat—ketika di masa muda sebuah kecelakaan menimpanya. Ia selamat dan tidak terluka parah, kecuali pada bagian tubuh yang kemudian membuatnya selalu bermimpi bisa membeli bayi-bayi di etalase atau foto perempuan bakal istri di sebuah swalayan... meski dalam mimpi. "Saya cuma takut, Pak, Bu. Saya takut kalian malu. Setampan apa pun saya, apalah guna bila hanya uang yang saya punya. Hanya uang!””
Di akhir cerita pengarang baru mulai megungkapkan apa yang sebenarnya ia takutkan, yaitu tentang sewaktu dulu ia (sang tokoh) pernah mengalami kecelakaan dan mengalami kemandulan sehingga ia takut mengecewakan ibunya kalau tidak bisa memiliki anak seperti yang kedua orangtuanya harapkan.
Kesimpulan
Dari berbagai kutipan di atas yang mampu menjadi bukti bahwa dalam cerpen Perjaka Tua terdapat beberapa ideologi pengarang tentang mempertanyakan “kapan kawin? “ dan “Tidak ada alasanmu yang masuk akal. Kekayaan macam apa yang kau tunggu?”. Seakan-akan mengkonstruksikan bahwa dengan harta yang cukup dan berlimpah, tujuan pada akhirnya adalah menikah. Padahal pertanyaan macam itu justru membuat seseorang menjadi sangat tertekan dan tidak percaya diri, apalagi ketika ia tidak dapat bercerita tentang masalah dirinya sementara orang-orang menghakiminya.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko.1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Faruk.1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (diIndonesiakan oleh Dick Hartoko) Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2002. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Renne dan Austin Werren.1995. Teori Kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Comments
Post a Comment