Skip to main content

KARAKTERISTIK BUDAYA JAWA DAN MANADO PADA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Ade Irma
2 SI S 2
Program Studi Sastra Indonesia



ABSTRAK
Jika kebudayaan diartikan sebagai sebuah kompleksitas total dari seluruh pikiran, perasaan, dan perbuatan manusia, maka untuk mendapatkannya dibutuhkan sebuah usaha yang selalu berurusan dengan orang lain. Tujuan dari penelitian ini adalah mengemukakan karakteristik budaya Jawa dan Manado pada tokoh utama dalam Novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono sebagai objek kajian. Dengan menggunakan pendekatan teori karakteristik budaya Jawa oleh Greetz dan karakteristik budaya Manado oleh Nono. S. A. Sumampouw. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa karakteristik orang Jawa yang dicerminkan oleh tokoh Sarwono memiliki kesamaan karakteristik orang Jawa pada umumnya dan karakteristik orang Manado yang dicerminkan oleh tokoh Pingkan menampilkan gaya hidup kebarat-baratan, bahasa, praktik kuliner, agama dan nama. Akan tetapi ada hal yang membedakan dirinya dengan orang Manado pada umunya, yaitu terlihat dari penggunaan bahasa dan praktik kuliner.

Kata kunci: karakteristik, budaya, Jawa, Manado, novel Hujan Bulan Juni.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas beragam suku, budaya dan agama. Keberagaman tersebut dipersatukan oleh semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan ini menjadi salah satu pilar yang diharapkan dapat mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, semboyan tersebut tidak menjadikan masyarakat Indonesia terlepas dari permasalahan kemajemukan budaya. Perbedaan adat istiadat terlebih lagi perbedaan agama seringkali menjadi permasalahan klasik yang terus-menerus terjadi hingga saat ini. Permasalahan tersebut bahkan menimbulkan hal yang fatal. Misalnya konflik yang terjadi di Poso dan di Ambon. Konflik tersebut dipacu oleh pertikaian antar suku dan agama. Hadirnya pendatang dari etnis lain yang membawa stereotip, keyakinan, dan praktik hidup masing-masing merupakan pemacu dari timbulnya konflik tersebut.
Akan tetapi, di tengah permasalahan yang timbul akibat kemajemukan budaya yang terjadi di Indonesia, Sapardi Djoko Damono memiliki pandangan lain mengenai kemajemukan budaya tersebut. Pandangannya tertuang dalam novel Hujan Bulan Juni. Melalui novel tersebut, ia menunjukkan sebuah kerukunan yang terbingkai oleh kemajemukan budaya. Sapardi Djoko Damono merupakan sastrawan besar sekaligus akademisi yang sangat produktif dari tahun 1958 hingga saat ini. Selanjutnya, ia juga banyak menghasilkan karya seperti cerpen, novel, esai, lukisan dan sebagainya. Ia merupakan guru besar pensiun di Universitas Indonesia dan di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Novel Hujan Bulan Juni mengisahkan percintaan Sarwono dan Pingkan di tengah perbedaan budaya dan agama namun perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang bagi cinta mereka.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana karakter buaya Jawa pada tokoh utama Sarwono?
1.2.2        Bagaimana karakter budaya Manado pada tokoh utama Pingkan?

1.3 Tujuan
1.3.1        Menjabarkan karakteristik budaya Jawa pada tokoh utama Sarwono dalam Novel Hujan Bulan Juni
1.3.2        Menjabarkan karakteristik budaya Manado pada tokoh utama Pingkan dalam Novel Hujan Bulan Juni

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Analisis yang Digunakan
Untuk menjabarkan karakteristik budaya pada tokoh, maka penelitian ini mengacu pada konsep mengenai karakteristik budaya orang Jawa dari Geertz dan konsep mengenai karakteristik orang Manado dari Nono. S. A. Sumampouw. Penggunaan istilah “orang Jawa” dalam penelitian ini mengacu kepada Suseno. Ia menyebut orang Jawa sebagai penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa dengan penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu (Franz Magnis Suseno, 1984: 11). Selain itu, yang mencirikan seseorang sebagai orang Jawa yaitu adat istiadat yang masih dipertahankan oleh mereka. Menurut Suseno (1984:6), etika merupakan sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan hidup demi mencapai pengakuan masyarakat, pemenuhan kehendak Tuhan, kebahagiaan dan pemenuhan tuntutan mutlak. Etika yang menjadi falsafah bagi orang Jawa yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip hidup tersebut dijalankan oleh orang Jawa sebagai kaidah normatif untuk bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik (Geertz dalam Franz Magnis Suseno, 1984: 38). Suasana rukun merupakan idaman semua kalangan masyarakat. Rukun artinya selaras, tentram dan tanpa perselisihan.
Dalam perspektif Jawa, rukun artinya mencegah segala kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketegangan dalam masyarakat serta menjaga keselarasan dalam pergaulan (Franz Magnis Suseno, 1984: 39-40). Untuk menjaga kerukunan tersebut, masyarakat Jawa dituntut untuk mampu bertindak dan bertingkah laku sedemikian rupa demi menjaga keselarasan di antara pergaulan mereka. Suseno (1984: 41-43) memaparkan bahwa untuk menjaga prinsip rukun tersebut, masyarakat jawa dituntut untuk bersikap berpura-pura atau dalam bahasa Jawa disebut ethok-ethok. Untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, orang Jawa cendrung tidak akan langsung mengungkapkan penolakan tersebut tetapi dengan pengungkapan penolakan yang tidak memperlihatkan penolakan tersebut. Untuk menghindari kekecewaan, orang Jawa akan bersikap ethok-ethok. Misalnya ketika orang Jawa sedang dirundung kesedihan, maka orang itu akan tetap tersenyum di hadapan orang lain demi menjaga kerukunan.
Sebagaimana Geertz yang dikutip Suseno, menyatakan bahwa ethok-ethok digunakan untuk menjaga tingkat keakraban (Greetz dalam Franz Magnis Suseno, 1984: 43). Prinsip kedua dalam kehidupan orang Jawa yaitu prinsip hormat. Prinsip hormat merupakan prinsip orang Jawa dalam berbicara dan membawa diri untuk selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Franz Magnis Suseno, 1984: 60). Untuk menjaga prinsip hormat, Geertz sebagaimana dikutip Suseno mengatakan bahwa sejak kecil orang Jawa sudah diberi pendidikan untuk bersikap wedi, isin dan sungkan (Greetz dalam Franz Magnis Suseno, 1984: 63). Wedi artinya takut, baik takut terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Sikap isin berati malu. Bagi orang Jawa isin berarti malu-malu atau merasa bersalah.
Selanjutnya, untuk melengkapi tatakrama, orang Jawa diajarkan untuk bersikap sungkan. Sikap sungkan hampir sama dengan sikap isin namun lebih ke arah malu yang positif. Sikap sungkan bagi orang Jawa adalah rasa hormat terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain (Geertz dalam Franz Magnis Suseno, 1984: 65). Sikap wedi, isin dan sungkan senantiasa dijaga oleh orang Jawa untuk menjaga rasa hormat tersebut. Dengan menjaga prinsip hormat dan rukun orang Jawa tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki kepribadian matang. Selain bahasa dan nilai etika, agama juga merupakan salah satu penanda identitas budaya seseorang. Agama Islam merupakan agama yang dapat digunakan sebagai penanda bagi orang Jawa. Agama Islam pada masyarakat Jawa terdapat dua macam, yaitu Islam yang bersifat sinkretis dan Islam yang bersifat puritan (Koentjaraningrat, 1994: 310). Islam sinkretis menyatukan unsur-unsur praHindu, Hindu dan Islam (Koentjaraningrat, 1994: 312), sedangkan Islam puritan mengikuti ajaran agama secara lebih taat, sekalipun tidak terlepas sepenuhnya dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur budaya Hindu-Buddha.
Sementara karakteristik orang Manado ditandai dengan dengan nilai kebarat-baratan, individualis namun tetap mempertontonkan toleransi dalam arena pluralitas (Sumampouw, 2015: 2). Will Lundoström-Burghoorn sebagaimana dikutip Sumampouw yang melihat identitas Manado sangat terpengaruh oleh Belanda (Sumampouw, 2015: 6). Pengaruh Belanda terhadap identitas masyarakat Manado juga terlihat dari penamaan marga atau fam. Penamaan marga atau fam diterapkan oleh suku Minahasa sejak tahun 1851. Penerapan fam tersebut berkaitan dengan aturan pembayaran pajak berdasarkan kepala rumah tangga yang diterapkan oleh pemerintah Belanda (Kurniawati R Deffi dan Sri Mulyani, 2012: 69). Selain itu, makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat Manado juga dapat dikatakan sebagai ciri khas karakter masyarakat Manado. Orang Minahasa merupakan penikmat makanan pedas dan daging binatang-binatang liar. Tiga hal yang menjadi ciri khas makanan Minahasa yaitu penggunaan cabai dalam jumlah banyak, kegemaran pada daging anjing dan binatang hasil buruan dan rebusan sayuran yang disebut tinutuan (Weichart, 2004: 67). Tidak hanya itu, minuman keras cap tikus, saguer dan coca-cola menjadi representasi budaya Minahasa. Menurut Burghoorn yang dikutip oleh Sumampouw yang melihat kebiasaan mengonsumsi minuman coca-cola sebagai pengaruh Belanda terhadap identitas Manado (Burghoorn dalam Sumampouw, 2015: 6). Agama Kristen dapat dianggap sebagai identitas bagi masyarakat Manado. Ilham Daeng Makkelo sebagaimana dikutip oleh Sumampouw menyatakan bahwa Kristen merupakan salah satu simbol identitas orang Manado (Sumampouw, 2015: 41).

2.2 Hasil Analisis
Cerita novel ini diawali dengan hubungan persahabatan antara Sarwono, Toar dan Budiman. Persahabatan tersebut mengantarkan Sarwono dan Budiman untuk bersaing mendapatkan Pingkan, adik Toar. Mereka sama-sama menyukai Pingkan karena kecantikan Pingkan. Keberuntungan berpihak kepada Sarwono. Gurunya berhasil meyakinkan dirinya dan orang tuanya agar melanjutkan sekolah ke Jakarta selepas SMA. Sarwono semakin beruntung ketika Pingkan juga melanjutkan sekolah ke Jakarta sehingga Sarwono berhasil mendapatkan cinta Pingkan. Keberuntungan tersebut membuat Budiman jengkel. Budiman yang sama-sama menyukai Pingkan sering meledeknya dengan panggilan Prof. Reaksi Sarwono terhadap ejekan Budiman tersebut ditunjukkan melalui kata aamiin. Reaksi tersebut menunjukkan sikap ethok-ethok Sarwono. Ia menahan dirinya dari rasa jengkel.
...Saking jengkelnya, kalau kirim surat, wartawan itu selalu memberi label “Prof” di depan nama Sarwono. Dan jawaban mahasiswa Atrop itu selalu hanya aamiiiin (Sapardi Djoko Damono, 2015: 16).
Kutipan di atas menunjukkan sikap ethok-ethok Sarwono kepada Budiman. Sikap tersebut ditampilkan melalui tuturan dan sikap Sarwono. Sikap tersebut merupakan sebuah bentuk pegendalian diri Sarwono terhadap rasa jengkelnya kepada Budiman. Oleh sebab itu, persahabatan yang sudah terjalin lama di atara mereka dapat terjaga kerukunan dan keharmonisannya. Situasi tersebut diciptakan Sarwono untuk menciptakan keselarasan sosial dalam keadaan yang ideal bersama Budiman. Dengan mempertahankan keselarasan sosial, artinya orang tersebut sudah dapat dikatakan memiliki nilai moral serta norma yang baik. Setelah lulus kuliah, Sarwono dan Pingkan sama-sama bekerja sebagai dosen di Universitas Indonesia. Sebagai dosen ia mendapatkan tugas untuk menyusun MOU ke Universitas Sam Ratulangi Manado. Ia meminta izin kepada Kaprodi untuk mengajak Pingkan sebagai asistennya. Akan tetapi, tujuan sebenarnya adalah agar Sarwono dapat berduaan dengan Pingkan dan dapat mengungkapkan perasaan cintanya ketika di perjalanan. Namun sebagai orang Jawa, Sarwono menjaga norma dengan mengatakan bahwa ia memerlukan asisten.
...Waktu itu mendapat tugas menyusun MOU dengan Universitas Sam Ratulangi. Berkat kelicikan yang tentu saja tidak masuk akal, ia berhasil mengakali dekan fakultas tetangga dengan mengatakan bahwa akan mengajak Pingkan menjadi guide-nya. Dan berhasil (Sapardi Djoko Damono, 2015: 21).
Kutipan tersebut menunjukkan sikap isin atau malu yang ditampilkan Sarwono. Alasan mengajak Pingkan sebagai guide merupakan sebuah alasan yang dipilih Sarwono untuk menjaga norma dan etika yang berlaku bagi adat ketimuran. Sebagai orang Jawa yang identik dengan adat ketimuran, Sarwono tahu betul bagaimana ia harus menjaga etikanya. Berdasarkan adat ketimuran yang berlaku di Indonesia, seseorang dapat dianggap tidak memiliki moral atau norma jika terlihat berpergian jauh bersama orang yang bukan istri ataupun suaminya. Maka untuk menjaga norma tersebut, Sarwono mencari alasan yang dianggap lebih pantas ketika ia meminta izin Kaporodi untuk mengajak Pingkan. Tidak hanya itu, sikap isin yang ditunjukkan pada kutipan di atas juga dipengaruhi oleh ketakwaan Sarwono kepada Tuhannya. Sebagai penganut agama Islam yang taat, Sarwono tidak hanya menjaga hubungannya dengan sesama, tetapi ia juga berusaha menjaga hubungannya dengan Tuhan.
Di satu sisi, kutipan di atas menunjukkan suatu bentuk perlawanan Sarwono terhadap tradisi budayanya. Ia menentang adat istiadat ketimuran yang melarang anggota masyarakatnya untuk berpergian bersama lawan jenis yang bukan suami istri. Akan tetapi, di sisi lain ia juga melakukan negosiasi dengan tradisi tersebut. Negosiasi ditunjukkan Sarwono melalui sikap isin atau malu. Dengan bernegosiasi, Sarwono dapat menghindari citra negatif dari orang lain terhadap dirinya karena bagi adat timur, hal tersebut dianggap tidak pantas untuk dilakukan. Akan tetapi sekali pun Sarwono melawan tradisi, ia tetap menjaga norma dan tetap menghormati Pingkan. Selama berpergian, mereka tidur di kamar hotel yang terpisah.
“Twin beds atau double bed, Pak?” tanya pegawai hotel. “Dua kamar saja, sendiri-sendiri,” jawab Sarwono (Sapardi Djoko Damono, 2015: 37).
Dengan memilih kamar yang berbeda ketika di hotel, Sarwono menunjukkan sikap isin atau malu. Kutipan tersebut mengindikasikan pikiran Sarwono yang masih terpengaruh kuat oleh adat istiadat Jawa, sekalipun ia ditampilkan sebagai orang yag memiliki pemikiran modern. Ketika di Manado, Sarwono merasa asing dengan pilihan menu makanan yang disajikan di sebuah rumah makan. Sebagai seorang muslim, ia kesulitan untuk memilih menu di antara makanan berbahan dasar daging hewan liar yang menjadi ciri khas Manado. Akan tetapi, berbeda dengan Pingkan, Sarwono melihatnya tampak tidak asing dengan menu-menu tersebut.
Begitu duduk, seorang cewek yang menjadi pelayan langsung menyodorkan beberapa piring yang isinya lauk sambil menjelaskan, ini ayang, ini ikang, ini babi, ini tikus...” Ketika Sarwono memesan bubur Manado, cewek itu bilang tidak ada. ... Lauk-pauk yang disebut pelayan itulah, yang bagi Sarwono terdengar aneh, yang sering dijadikannya senjata untuk mengejek Pingkan (Sapardi Djoko Damono, 2015: 21 – 22).
Kutipan tersebut memberikan gambaran sikap Sarwono yang taat kepada aturan agamanya. Islam melarang umatnya untuk memakan makanan yang dianggap haram. Maka Sarwono lebih memilih tinutuan sebagai makanan yang akan dimakan olehnya. Tinutuan merupakan makanan khas Manado yang dikenal sebagai bubur Manado. Ketaatan Sarwono juga terlihat ketika tinutuan tersebut tidak tersaji di rumah makan, ia sama sekali tidak tertarik untuk memakan makanan yang dianggapnya haram. Tidak ada perlawanan atau pun negosiasi ketika Sarwono dihadapkan pada situasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa aturan agama bukan merupakan sesuatu yang dapat ditentang maupun dinegosiasikan. Hukum agama lebih mengakar kuat pada diri Sarwono jika dibandingkan dengan hukum adat. Selain itu, kutipan di atas juga dapat mengindikasikan identitas Pingkan yang cair. Pingkan yang dilahirkan serta dibesarkan di Solo tidak dapat terlepas sepenuhnya dari identitas Manado. Hal ini tampak dalam kutipan di atas.
Kutipan tersebut menunjukkan kebiasaan Pingkan memakan makanan khas Manado. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa praktik kuliner merupakan salah satu penanda identitas orang Manado. Akan tetapi, tampaknya budaya Jawa juga berpengaruh terhadap praktik kuliner Pingkan. Bagi orang Jawa, meminum minuman keras merupakan salah satu perbuatan yang dianggap tidak baik. Selain diharamkan oleh agama, minuman keras juga dianggap dapat merusak kesehatan tubuh dan lain sebagainya. Namun lain halnya di Manado, di sana minuman keras dijadikan sebagai minuman yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Dalam hal ini, Pingkan yang ditampilkan dalam novel sebagai orang Manado justru tidak digambarkan sebagai orang yang suka mengonsumsi minuman keras. Hal ini digambarkan novel melalui bayangan Sarwono tentang Pingkan ketika ia merasa cemburu dengan kedekatan Pingkan dan Katsuo. Ia khawatir Pingkan akan terbujuk untuk berpesta dan mabuk-mabukan selama berada di Jepang.
Yes! Tapi yes apa pula kalau Pingkan tidak ada nanti? Kalau Pingkan masih di Kyoto malam-malam keluar-masuk restoran menikmati sake mungkin sampai mabok. Lho, kan. Malah takut. Pingkan kok mabok, minuman bir saja ga mau. Sarwono tahu benar, gadis yang dicintainya itu sama sekali tidak pernah mau minum bir, meskipun sudah dubujuki pakai campuran 7-Up. Tapi kan dia di Jepang, sama Sontoloyo itu pula. Siapa tahu? (Sapardi Djoko Damono, 2015: 99).
Kutipan tersebut mengindikasikan adanya pengaruh besar budaya Jawa terhadap Pingkan. Bayangan Sarwono tentang Pingkan tersebut menunjukkan keyakinannya akan kebiasaan Pingkan yang tidak pernah menyentuh minuman keras. Padahal sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa bagi orang Manado, minuman keras dianggap sebagai minuman yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Sikap Pingkan tersebut dipengaruhi oleh norma budaya Jawa yang mengekang anggota kelompoknya untuk tidak menyentuh minuman keras. Di sini terlihat adanya usaha dari Pingkan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu, kutipan tersebut dapat dikatakan sebagai indikasi identitas Pingkan yang cair. Pingkan secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tempat di mana ia berada. Selama di Jawa, ia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya tanpa dapat melepaskan identitasnya sebagai orang Manado. Selain melalui praktik kuliner, identitas Pingkan yang cair juga tampak pada penggunaan bahasa yang digunakannya untuk bertutur. Pingkan ditampilkan sebagai perempuan Manado yang kerap berbahasa Jawa. Hal tersebut terlihat dari kutipan,
 “Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongamu ora bakal ditampa”. (Sapardi Djoko Damono, 2015: 74).
Kutipan tersebut menunjukkan Pingkan tampak fasih menggunakan bahasa Jawa. Hal ini tentunya juga terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya yang sejak lahir berada di Solo. Akan tetapi, ketika Sarwono merasa terganggu dengan suara musik yang sangat keras saat sarapan di hotel Gorontalo. Pingkan meminta petugas hotel untuk mengecilkan suara musiknya dengan logat bahasa Manado, terlihat pada kutipan berikut:
Dengan logat yang diupayakan mirip cara bicara orang Menado, Pingkan meminta petugas restoran untuk mengecilkan suara musik dari album sebuah band yang sedang menjadi idola anak muda. (Sapardi Djoko Damono, 2015: 46 – 47).
Dari kutipan tesebut tampak bahwa Pingkan menyesuaikan dirinya melalui bahasa yang dituturkannya. Di satu sisi lingkungan sosial di Solo membuatnya fasih berbahasa Jawa. Akan tetapi di sisi lain ia juga tampak masih menggunakan bahasa dan logat Minahasa Tonsea. Bahasa Minahasa Tonsea merupakan sebuah bahasa Melayu – Polinesia yang dituturkan oleh masyarakat ujung timur laut Sulawesi. Tuturan bahasa Jawa Pingkan yang ditunjukkan pada kutipan di atas merupakan sebuah upaya untuk mendapatkan pengakuan dari orang Jawa sebagai bagian dari mereka. Penggunaan bahasa daerah tersebut mengidikasikan identitas Pingkan yang cair. Di sini tampak adanya penyesuaian yang dilakukan Pingkan terhadap budaya di mana ia berada. Pingkan juga melakukan penyesuaian budaya melalui kesenian. Untuk mendapatkan pengakuan orang Jawa sebagai bagian dari mereka, Pingkan mempelajari tari Jawa. Penyesuainnya melalui kesenian mendapatkan dukungan penuh dari ayahnya yang berasal dari Manado.
“Kok kamu belajar nari Jawa, untuk apa?”
“Bapakku si Manado itu maunya aku jadi orang Jawa saja, ikut ibu.”
“Kok?”
“Kok apa? Memangnya kami hidup di mana?” (Sapardi Djoko Damono, 2015: 34)
Kutipan tersebut menunjukkan kemudahan Pingkan untuk memilih identitas sebagai orang Jawa. Akar identitas budaya yang tidak kuat serta didukung dari ayahnya mempermudah Pingkan untuk menyesuaikan diri dengan budaya Jawa. Di sini tampak adanya proses being dan becoming yang dilakukan Pingkan secara sadar dalam menentukan posisi dirinya. Akan tetapi, kemudahan Pingkan dalam menempatkan dirinya sebagai orang Jawa tidak membuatnya ia terlepas dari permasalahan pemosisian identitas budaya. Hal tersebut terlihat ketika guru tarinya memanggil dengan sebutan “Non”. Panggilan tersebut menunjukkan bahwa Pingkan berusaha memosisikan dirinya sebagai orang Jawa dengan mempelajari kesenian Jawa. Akan tetapi, nama Pingkan tetap diposisikan sebagai other oleh orang Jawa karena ia dianggap tidak memiliki sejarah identitas yang sama dengan mereka. Namun dengan demikian, walaupun Pingkan tidak mau dianggap sebagai other, ia tetap menerima pemosisian tersebut. Hal ini terlihat ketika Pingkan hanya bergumam dalam dirinya atas ketidaksetujuan kepada Bei yang memanggil dia “Non”. Hal ini disebabkan karena Pingkan memiliki kesadaran diri akan identitasnya.
Nama Pingkan Pelenkahu mengukuhkan Pingkan sebagai orang Manado. Pingkan diambil dari nama tokoh cerita rakyat Tonsea Putri Pingkan dan Matindas. Nama seseorang merupakan sebuah simbol identitas yang melekat pada diri seseorang. Nama Pingkan yang diambil dari nama tokoh dongeng seolah mengesahkannya sebagai pemilik identitas Manado. Selain itu, identitasnya sebagai orang Manado juga diperkuat oleh agama Kristen yang dianut oleh Pingkan. Ia meyakini sekali bahwa Yesus adalah Tuhannya yang akan membantu dirinya dari segala macam kesulitan. Selain darah Manado, dalam tubuhnya juga mengalir darah Jawa yang diturunkan dari ibunya.
Hal lainnya yang mencerminkan sikap orang Jawa adalah ketika selesai urusannya di Manado, Sarwono diminta Kaprodi untuk melanjutkan perjalanannya ke Gorontalo. Untuk menghormati Pingkan, ia tidak langsung memaksa atau memberi perintah kepada Pingkan untuk ikut bersamanya. Ia meminta persetujuan Pingkan dengan penuh harap dan cemas.
.... ia sampaikan perintah itu kepada Pingkan, harap-harap cemas agar perempuan itu mau meneruskan perjalanan ke Gorontalo menemaninya. (Sapardi Djoko Damono, 2015: 27-28).
Kutipan tersebut menunjukkan sikap sungkan Sarwono kepada Pingkan. Sikap sungkan tersebut dimaksudkan untuk menghormati Pingkan. Melalui sikapnya tersebut, Sarwono memperlihatkan rasa hormatnya kepada Pingkan. Sebagai orang Jawa, Sarwono tidak dapat mengatakan secara lugas untuk membawa Pingkan ke Gorontalo, sekalipun ia ditampilkan novel sebagai manusia modern. Hal tersebut menunjukkan bahwa adat istiadat Jawa melekat kuat pada karakter Sarwono yang memiliki keajegan sebagai orang Jawa. Sepanjang perjalanan dari Manado menuju Gorontalo, rombongan Sarwono beberapa kali berhenti untuk beristirahat, makan dan salat. Di sini tergambar bahwa Sarwono merupakan penganut agama Islam yang taat.
Ternyata Sarwono tidak asing masuk mesjid. Pak sopir dan Sarwono dua kali dalam perjalanan ambil air wudu dan sembahyang (Sapardi Djokon Damono, 2015: 31).
Kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa Sarwono termasuk ke dalam penganut agama Islam santri. Artinya ia melakukan praktik ibadah agama Islam sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, di dalamnya termasuk praktik ibadah salat. Sarwono tidak serta-merta dapat membebaskannya dari adat istiadat budaya Jawa. Sebagai orang Jawa, ia berusaha untuk menjaga sikap isin.
Seperti ketika ia gagal mendapat ciuman dari Pingkan. “...Sarwono sempat mencuri cium sebelum berjalan cepat ke fakultasnya yang bersebelahan ...” (Sapardi Djoko Damono, 2015: 14).
Kutipan tersebut menunjukkan sikap isin atau malu Sarwono. Di sini Sarwono melakukan negosiasi dengan budayanya. Orang timur akan dianggap tidak tahu malu atau tidak memiliki etika jika mereka mencium seseorang di tempat umum. Maka dari itu, Sarwono melakukan negosiasi dengan hanya mencuri cium kepada Pingkan sehingga ia dapat terhindar dari prasangka negatif orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya itu, sebagai orang Jawa yang ajeg, ia juga kerap menunjukkan sikap wedi atau takut demi menjaga kerukunan dengan orang-orang di sekitarnya.
Sebenarnya Sarwono lebih khawatir Pingkan menghilangkan rasa sepinya dengan mahasiswa Jepang yang di Kyoto itu. Dan itu sebabnya sekarang ia diam. Juga merasa berbuat keliru telah menyampaikan pertanyaan tadi, yang dalam situasi biasa tentu akan diberi label yang bukan-bukan... (Sapardi Djoko Damono, 20015: 91).
Dalam kutipan tersebut, menunjukkan sikap wedi atau takut dari Sarwono. Pada kutipan tersebut Sarwono terlihat menyesal ketika ia berterus-terang kepada Pingkan mengenai rasa cemburunya. Ia takut jika keterusterangannya dapat menyinggung perasaan Pingkan. Maka ia menunjukkan sikap wedi atau takut melalui sikap diam. Lain halnya dengan Sarwono yang memiliki sikap isin atau malu, Pingkan yang digambarkan sebagai orang Manado, kerap menunjukkan sikap agresif kepada Sarwono.
Tadi pagi ketika mengantar Sarwono ke bandara, Pingkan tidak bisa menahan dirinya mencium dan memeluk Sarwono kuat-kuat, adegan yang bisa saja menimbulkan keheranan orang lain seandainya terjadi di Bandara Adisuwarmo, Solo (Sapardi Djoko Damono, 2015: 55).
Sikap agresif Pingkan yang mengarah kepada sikap kebarat-baratan seperti yang tergambar pada kutipan di atas menunjukkan karakteristik Pingkan sebagai orang Manado. Walaupun dalam novel Pingkan dinarasikan sebagai orang yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Jawa, sikap agresifnya tersebut tetap menunjukkan Pingkan sebagai orang Manado karena bagi perempuan Jawa yang memegang adat ketimuran, hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Seorang perempuan Jawa akan dipandang negatif jika bersikap agresif kepada seorang laki-laki. Perempuan tersebut akan dianggap tidak memiliki rasa malu. Sikap yang demikian dapat mengukuhkan identitas Pingkan sebagai orang Manado.


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasaan karakteristik budaya, dapat disimpulkan bahwa novel ini menampilkan karakter Jawa yang berbeda. Melalui tokoh Sarwono, novel ini merepresentasikan karakteristik Jawa yang memiliki kesamaan dengan orang Jawa pada umumnya, sehingga tampak bahwa tokoh Sarwono memiliki identitas yang stabil. Karakter tersebut meliputi sikap ethok-ethok yaitu berpura-pura, wedi yaitu takut, isin yaitu malu dan sungkan. Sikap-sikap tersebut muncul dari pemikiran rasional yang diperkuat oleh landasan agama sebagai bentuk pengendalian diri demi terciptanya kerukunan. Selain itu, novel ini menghadirkan karakter Jawa melalui ketaatan Sarwono pada agama Islam. Sementara karakteristik Manado ditampilkan novel melalui tokoh Pingkan dengan menampilkan gaya hidup kebarat-baratan, bahasa, praktik kuliner, agama dan nama. Gaya hidup kebarat-baratan ditunjukkan melalui sikap agresif dan terbuka mengindikasikan Pingkan sebagai orang Manado. Agama Kristen dan nama Pingkan Pelenkahu yang dianggap sebagai simbol Manado juga memperkuat identitasnya sebagai orang Manado. Akan tetapi ada hal yang membedakan dirinya dengan orang Manado pada umunya, yaitu terlihat dari penggunaan bahasa dan praktik kuliner. Kefasihan Pingkan dalam berbahasa Jawa serta ketidaksukaannya terhadap minuman keras mengindikasikan suatu bentuk usaha untuk menyesuaikan diri dengan budaya Jawa. Ini membuktikan bahwa identitas memang bersifat cair mengikuti tempat di mana ia berada.


DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2015. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Deffi, Kurniawati R. dan Sri Mulyani. 2012. Daftar Nama Marga/Fam, Gelar Adat dan Gelar
Kebangsawanan di Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumampou, Nono S. A. 2015. Menjadi Manado: Torang Samua Basaudara, Sabla Aer dan
Pembentukan Identitas Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.


Comments

Popular posts from this blog

PENOKOHAN DALAM CERPEN MALAIKAT JUGA TAHUKARANGAN DEWI LESTARI DANMAAFKAN BUNDA,ANAKKU!” KARANGAN IRNA SYAHRIAL : KAJIAN INTERTEKSTUAL (Oleh: Anisa Yulicahyanti)

PENOKOHAN DALAM CERPEN  MALAIKAT JUGA TAHU KARANGAN DEWI LESTARI DAN MAAFKAN BUNDA,ANAKKU!”  KARANGAN IRNA SYAHRIAL : KAJIAN INTERTEKSTUAL ABSTRAK Karya sastra sebagai proses kreatif yang merupakan gambaran masyarakat dibentuk oleh pandangan sang pencipta. Sebuah karya sastra dapat pula menjadi contoh atau sandaran bagi karya sastra yang lahir berikutnya. Pada c erpen Malaikat Juga Tahu karya Dewi Lestari dan cerpen  Maafkan Bunda,Anakku! Karya Irna Syahrial   diindikasikan mengandung perbedaan serta persamaan didalamnya. Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penokohan dari cerpen Malaikat Juga Tahu karya Dewi Lestari dan cerpen  Maafkan Bunda,Anakku! Karya Irna Syahrial  Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan kajian intertekstual yang dikemukakan oleh Pradopo. Adapun dalam penelitian ini didapat hasil yaitu adanya persamaan tokoh kedua cerpen yang menekankan tokoh yang menderita Down Syndrom. Dala...

KONFLIK DALAM LAKON MENTANG-MENTANG DARI NEW YORK KARYA MARCELINO ACANA JR. (KAJIAN SOSIOLOGI)

Bima Dewanto Program Studi Sastra Indonesia Abstrak Budaya dan tradisi masyarakat di dunia memiliki keanekaragaman yang sangat banyak. Masing-masing dari budaya yang mereka miliki berasal dari latar belakang sosial yang khas dan budaya yang berbeda satu sama lain. Setiap kelompok masyarakat membawa kebiasaan dan tradisi masing-masing dalam kehidupannya sehari-hari. Tradisi yang mereka jalankan adalah hasil dari pembelajaran, perkembangan, dan proses yang mereka jalani bersama masyarakat lainnya. Proses ini membentuk identitas budaya dalam diri individu sehingga memotivasi seseorang untuk belajar tentang sikap dari kelompok masyarakat sendiri maupun kelompok masyarakat lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyajikan kepada pembaca mengenai konflik dalam lakon Mentang-mentang dari New York. Metode yang digunakan merupakan metode deskriptif dengan teknik analisis kualitatif. Objek dari penelitian ini ialah naskah drama Mentang-mentang dari New York karya Marcellino Aca...

Sosiologi Sastra : Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia

Muhammad Kahfi Judul Buku : Sosiologi Sa s tra: Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia Penulis Buku : Dr. Wiyatmi, M.Hum. Penerbit Buku : Kanwa Publisher Cetakan : 1, 2013 Tebal Buku : 197 halaman Sinopsis Sosiologi Sastra : Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia Sosiologi Sastra merupakan kajian interdisipliner untuk mengemukakan seluk beluk masyarakat yang hidup disuatu zaman atau wilayah yang tak terekam oleh mata orang – orang milenial. Namun, dengan suatu karya sastra dan dikaji dengan pendekatan ini membuat penggambaran besar suatu zaman tertentu yang memuat adat istiadat atau kultur masyarakat suatu zaman untuk diketahui oleh para sosiolog zaman milenial. Dalam tiap pendekatan ilmiah memiliki banyak sub kajian yang menjadi perhatian para peneliti untuk menggunakannya dalam penelitiannya. Khususnya penelitian dibidang sosiologi yang notabenenya harus bersifat objektif. Menekankan pada aspek pembelajaran mengenai pengaplikasian tiap – t...