KARYA ILMIAH MATA KULIAH MENULIS KHURIN NURLAILI IMANDINI
RELASI KUASA DALAM
NOVEL MARYAM
KARANGAN
OKKY MADASARI

Khurin Nurlaili Imandini
2 SASTRA
INDONESIA 2
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
kasih-Nya saya
berhasil menyusun makalah atas dasar dan rangka presentasi penulis mengenai relasi
kuasa yang terdapat dalam novel Maryam karangan Okky Madasari.
Makalah ini saya susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keterampilan Menulis. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna oleh karena itu diharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun, demi kesempurnaan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
khususnya dan masyarakat luas.
Jakarta,
17 Mei 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Mengenai beberapa jenis karya sastra,
dapat kita temukan sebuah pengkubuan
yang sudah paten adanya dalam streotip masyarakat sekarang ini. Sastra serius
dan sastra populer. Satra populer pada perkembangan sebelumnya dikenal sebagai
“bacaan liar” atau “sastra picisan” yang pada umumnya disebarluaskan atas unsur
kapitalis sehingga penyebaran sebisa mungkin merebak, merata, memasuki setiap
elemen masyarakat, menyebar luas; menjadi populer di masyarakat umum. Sehingga
tidak jarang kita temui kualitas penulisan maupun isi yang tidak terlalu
diperhatikan.
Berbeda dengan sastra serius yang
ditulis dengan tidak mengikuti pasar, ditulis dengan tanggung jawab dan tujuan
tertentu. Tidak hanya atas dasar hiburan semata. Sarat pesan dan amanat yang
tidak jarang sangat implisit, banyak memanfaatkan akrobatik kata dan makna
untuk mewakili dunia bawah sadar (imajinasi, perasaan, kenangan, dan
sebagainya) agar nampak lebih jelas dan terlihat lebih nyata.
Berangkat dari hal tersebut beberapa karya sastra tercipta untuk menyuarakan
persoalan-persoalan termasuk konflik yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam masyarakat itu sendiri banyak terbentuk berbagai hubungan atau
relasi yang selalu bergandengan dengan sebuah kekuasaan. Keadaan yang
mendominasi menciptakan bentuk kekuasaan secara otomatis. Berkaitan dengan
ideologi, setiap ada kehendak untuk kebenaran, selalu ada kehendak untuk
berkuasa. Berhubungan dengan populasi, setiap ada seksualitas disana ada
kekuasaan.
Okky Madasari dalam karangannya yang
berjudul Maryam menyampaikan
persoalan-persolan masyarakat. Adanya narasi sebuah pengusiran masyarakat yang
terdominasi atas ideologi bermula melalui hubungan terkecil yaitu keluarga
sampai kepada hubungan yang lebih makro yaitu masyarakat. Cerita dalam novel
ini dibungkus melalui tokoh utama yang bernama Maryam sebagai seorang anak, istri,
perempuan dan anggota masyarakat.
Berdasarkan
latar belakang ini, identifikasi bentuk-bentuk relasi kuasa selanjutnya akan
diuraikan dengan pemikiran Michel Foucault.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah:
1.
Apakah
yang dimaksud relasi kuasa menurut Michel Foucault?
2.
Relasi
kuasa yang seperti apa yang terdapat dalam novel Maryam karangan Okky
Madasri dengan teori relasi kuasa Michel Foucault?
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah:
1.
Menjelaskan yang dimaksud
relasi kuasa menurut Michel Foucault
2. Mendeskripsikan
bentuk-bentuk relasi kuasa yang terdapat dalam novel Maryam karangan
Okky Madasari dengan teori relasi kuasa Michel Foucault.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kerangka Teori
2.1.1
Definisi
Relasi Kuasa berdasar teori Michel Foucault
Tertulis
dalam jurnal yang ditulis oleh Swadesta Aria Wasesa.
Foucault (Sulistya dkk., 2011: 135) mendefiniskan relasi kuasa sebagai sesuatu
yang membuat orang patuh.Relasi kuasa merupakan konsep hubungan kekuasaan yaitu
praktik-praktik kekuasaan dari subyek pada obyek melalui berbagai media dan
rupa Kekuasaan yang dimaksudkan tidak didapat dari cara- cara yang represif,
melainkan secara manipulatif dan hegemonik.
Kekuasaan,
bagi Foucault (2007) adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas
menciptakan realitas dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek- objek
pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang khas.Praktik-praktik itu
menciptakan norma-norma yang lalu direproduksi dan dilegitimasi melalui para
guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan administrator,
misalnya.Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi pengetahuan pun
lantas melahirkan kekuasaan.
Lebih
lanjut Foucault dalam Dicipline and Punish: The Birth of Prison(Sulistya dkk.,
2011: 135) mengatakan bahwa kekuasaan disalurkan melalui hubungan sosial,
memproduksi bentuk perilaku seperti baik dan buruk, dan menciptakan prosedur
dan aturan yang mampu menundukan masyarakat. Ada lima cara bagaimana kekuasaan
itu beroperasi.
a. Kekuasaan
tidak diambil, diperoleh, atau dibagikan. Kekuasaan berjalan dari berbagai
titik, dalam hubungan yang tidak setara dan selalu bergerak.
b. Kekuasaan
bersifat cair. Maksudnya kekuasaan adalah efek langsung dari pembagian,
pembedaan, ketidaksetaraan, dan ketidakseimbangan.
c. Hubungan
kekuasaan tidak berada dalam posisi suprastruktur. Kekuasaan datang dari bawah,
artinya tidak ada oposisi biner antara yang mendominasi dan yang dominan.
Hubungan semacam itu terbentuk dalam aparat produksi seperti dalam keluarga,
kelompok, maupun institusi.
d. Hubungan
kekuasaan bersifat intensional. Tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran.
Rasionalitas kekuasaan adalah taktik yang terselubung pada tingkat teratas.
e. Kekuasaan
selalu mendapatkan tandingan kuasa lainnya dimanapun berada. Kekuasaan selalu
melahirkan anti kekuasaan. Anti kekuasaan tersebut sebenarnya adalah untuk
mengejawantahkan kekuasaan lainnya sebagai tandingan.
2.1.2
Sasaran
Relasi Kuasa teori Michel Foucault
Sasaran
kekuasaan menurut Foucault (Jones, 2003: 175) bisa siapa saja.Baik individu
atau kelompok.Relasi kuasa beroperasi pada pemikiran (ideologi) hingga tubuh,
yang akhirnya mempengaruhi perilaku.
1.
Relasi
Kuasa Atas Tubuh
Foucault
(Jones, 2003: 173) menunjukan bahwa masyarakat modern memiliki dua alasan
mengapa pengaturan sistemik atas tubuh menjadi penting.Pertama adalah karena
tekanan penduduk sebagai akibat urbanisasi.Kedua adalah karena kebutuhan
kapitalisme industri.Untuk yang pertama, Jones (2003: 173-174) memaparkan bahwa
urbanisasi berdampak pada meledaknya jumlah penduduk di perkotaan.Peledakan
tersebut member efek lanjutan pada politik hingga ekonomi masyarakat
perkotaan.Hal ini membuat lahirnya aturan-aturan yang mengatur tubuh secara
seksual yang disebut politik anatamo dan tubuh secara sosial, yang disebut bio
politik.Sedangkan untuk yang kedua, Foucault (2007: 181) mengatakan bahwa bahwa
masyarakat kapitalis modern gencar mempromosikan tubuh yang sehat sebagai ciri
kebudayaan yang sentral dan kuat.Pemodelan bentuk tubuh yang dikaitkan dengan
kebudayaan perkotaan tersebut membuat tubuh menjadi tempat beroperasinya
produk-produk dagang kapitalisme.
Penjelasan mengenai
tubuh sosial dan seksual adalah sebagai berikut:
a) Tubuh
Sosial
Foucault (Synnott,
2007:371) menjelaskan bahwa tubuh dalam ranah sosial adalah simbol natural di
antara alam, masyarakat, budaya, hingga politik.Artinya, di tengah semua itu, ada
aturan yang mengharuskan bagaimana seharusnya tubuh ditampilkan secara ideal
menurut aturan-aturan tersebut. Dalam Dicipline and Punish, lebih lanjut
Foucault (Synnott, 2007: 372) memaparkan bahwa aturan-aturan tersebut membentuk
suatu kebijakan pemaksaan atas tubuh, manipulasi yang telah diperhitungkan
lewat elemen, sikap, dan tingkah laku. Tubuh manusia, dalam ranah sosial telah
menjadi tubuh sosial masuk ke dalam mesin kekuasaan yang menyelidikinya,
mempretelinya, dan menatanya kembali.
b) Tubuh
Seksual
Tubuh seksual atau
tubuh pribadi bagi Foucault (Suyono, 2002: 476) berlangsung dalam skala kecil
dan besar.Penanaman atau paksaan bagaimana seharusnya tubuh pribadi digunakan
berlangsung terus-menerus dan membentuk matriks-matriks transformasi.Dalam skala
kecil, aktualisasi tubuh pribadi tersebut ditanamkan di keluarga, sekolah, dan
perawat.Sedangkan dalam skala yang lebih besar, penanaman tersebut dilakukan
oleh negara, Kontrol negara atas tubuh seksual dihubungkan dengan kontrol tubuh
dalam skala kecil yang diimplementasikan dalam infra hukum atau peraturan
negara.
2.
Relasi
Kuasa Atas Pikiran
Foucault
(Jones, 2003: 193) menuliskan bahwa salah satu cara terbaik di mana kita bisa
memeroleh pengertian keseimbangan kekuasaan antara wacana- wacana yang berkompetisi
pada titik pertautan tertentu adalah dengan merefleksikan pada bahasa yang
digunakan untuk membicarakan segala sesuatu. Bahasa mampu mengidentifikasi
bagaimana tubuh tersebut biasa digunakan atau merujuk pada penggunaan tubuh
deni suatu kepentingan.Misalnya, bahasa yang merujuk pada pelacuran selalu
diasosiaikan pada perempuan. Tidak ada bahasa yang merujuk pada kegiatan yang
sama oleh laki-laki. Pergeseran keseimbangan kekuasaan wacana, lanjut Foucault
(Jones, 2003: 194) antara definisi perempuan semakin massif pada masa
modern.Lakilaki tidak dapat mengalami ninfomania atau histeria, juga tidak
dapat menjadi laki-laki simpanan atau pelacur lelaki.Contoh lainnya menurut
Foucault (Suyono, 2002: 498) adalah rasisme.Bahasa mampu memengaruhi pikiran
individu dalam menggolongkan manusia berdasar kelas sosial maupun ciri-ciri
fisik yang dimiliki manusia. Penggolongan manusia, baik-buruk, benar-salah, dan
sebagainya menurut Foucault (Jones. 2003: 174) dilakukan dengan wacana.Wacana,
baik itu bahasa langsung atau teks yang mendominasi suatu waktu dalam sejarah
dan suatu tempat di dunia sehingga manusia memiliki kerangka-pikir, atau
pandangan dunia tertentu. Dominasi yang terus menerus diasupi dalam pikiran ini
merubah cara pandang segala sesuatu.
Kemudian kekuasaan dalam realitas dalam
artikel ini dikerucutkan dengan dua cara. Pertama, adalah dengan kekerasan dan
tindakan represif. Kedua, kekuasaan dijalankan dengan terselubung. Kekuasaan
yang direpresentasikan dengan kekerasan dan tindakan represif misalnya membikin
orang patuh dengan ancaman pistol dan ancaman fisik lainnya. Sedangkan
kekuasaan yang direprsentasikan dengan terselubung misalnya lewat ilmu
pengetahuan dan lembaga-lembaga yang diakui.
2.2
Analisis
bentuk-bentuk relasi kuasa yang terdapat dalam novel
Maryam karangan Okky Madasari dengan teori relasi kuasa Michel Foucault.
2.2.1
Adanya relasi kekuasaan
yang terjadi antara anak dengan orang tua.
Digambarkan
melalui tindakan represif. Seperti yang tertera pada kutipan berikut:
Ibunya
ikut bicara. “Lebih baik tidak usah pacaran dengan orang luar. Daripada nanti
sama-sama kecewa. Sama-sama terluka. Lebih baik diakhiri sekarang saja.” hlm.17.
Adanya kekuatan yang lebih besar dari orang tuanya
mebuat Maryam sebagai anak, mau tak mau harus diam dan mencari jalan tengah
untuk tetap menuruti apa kata orang tua dan menuruti hati dan keputusannya
sendiri.
Otoritas orang tua Maryam tidak sampai disitu,
ketika akhirnya bapaknya bertindak lanjut, seperti dalam kutipan di bawah ini:
Satu-satunya
yang bisa dilakukan adalah membuat laki-laki pilihan Maryam mengerti dan
mengikuti apa yang mereka percayai ...
kembali dengan membawa lima buku. Diserahkannya buku-buku itu pada Alam.
“Buku-buku ini bisa dipelajari dulu, Nak Alam. Biar nanti sudah mantap melamar
Maryam,” hlm.18.
Tindakan bapak kepada Alam (calon Maryam) telah
menyinggung hati Maryam juga Alam. Atas otoritas mereka, keduanya pun hanya
mengiyakan. Kemudian buku-buku itu dilupakan.
Hal yang berkaitan dengan otoritas orang tua terhadap
anak tidak hanya terjadi pada diri Maryam melainkan juga kepada Alam:
Ibunya
berteriak menyerukan nama Alam, saat Alam mengatakan bahwa Maryam seorang
Ahmadi ... “Tinggalkan Maryam sekarang juga.” Hlm. 38.
Kepada bapaknya, alam tidak dapat berbuat apa-apa,
pun kepada ibunya.
2.2.2
Adanya relasi kekuasaan
yang terjadi antara menantu dan mertua.
“Suami
adalah imam seorang istri. Ketika sudah menikah nanti, istri harus mengikuti
suaminya, menuruti suaminya, apalagi dalam soal beragama.” Hlm. 36.
Maryam tahu apa yang tersembunyi dalam kalimat yang
diucapkan ibu mertuanya. Orang tua Alam akan merestui pernikahan mereka berdua
bila Maryam meninggalkan semuanya (hal yang berkaitan dengan Ahmadiyah termasuk
keluarganya).
Lantaran Maryam danAlam tak kunjung dikaruniai
seorang anak, Ibu Alam mengambil tindakan gegabah:
“Pak
Ustaz, tolong anak saya ini didoakan agar segera punya keturunan. Tolong
dimintakan ampun kalau memang dulu pernah sesat.” Hlm. 121.
Emosi Maryam sudah tidak terbendung lagi, seolah
semua ini salahnya yang berdosa, yang pernah hidup dalam kesesatan, dan
dikatakan dihadapan orang banyak. Namun tidak banyak upaya yang dapat dilakukan
Maryam dalam meluapkan kesedihan dan kekecewaannya.
2.2.3. Adanya
relasi kekuasaan yang terjadi antara anggota masyarakat minoritas dengan
anggota masyarakat mayoritas.
Ahmadiyah
yang digambarkan dalam novel ini, khususnya pada pelataran di Lombok merupakan
aliran yang dianggap sesat. Bentuk eksklusifitasnya yang tidak mampu diterima
jelas oleh masyarakat sekitar membentuk anggapan bahwa itu adalah bentuk sesat
yang angkuh. Ketika tetua atau Kiai tertua sekaligus pemegang kontrol
keseimbangan sesama masyarakat wafat, mulailah berjamur dan semakin memburuk
streotip masyarakat terhadap golongan Ahmadi (yang minoritas). Hal ini
digambarkan ketika Fatimah, adik Maryam, mendapat nilai merah di raport
lantaran ia menganut aliran Ahmadiyah, yang bagi gurunya (non-Ahmadi) adalah
sesat.
Katanya
dengan nada tinggi. “Saya guru agama. Bagaimana bisa saya memberikan nilai
bagus untuk anak yang masuk aliran sesat!” hlm. 75.
Ketika Maryam melakukan
bulan madu yang kedua dengan suami barunya, Umar. Mereka mendatangi kampung
halaman Maryam, Gerupuk. Pak RT dan Pak Haji datang untuk mengusir keturunan
Pak Khairuddin (bapak Maryam, seorang Ahmadi):
“Mereka
yang sesat tak boleh lagi berada di kampung ini,” hlm.208.
Bentuk radikal dan
lebih ekstrim yang dilakukan oleh golongan non-Ahmadi ialah sebagai berikut:
Mereka
memberikan dua pilihan: kembali ke jalan yang benar atau segera meninggalkan
tempat ini. ... dalam puncak ketegangan dan ketidaksabaran, api-api pun
dilemparkan. Tujuh belas rumah dibakar. Penghuninya memilih pergi. Meninggalkan
semua yang mereka miliki. Melepaskan kehidupan yang telah bertahun-tahun mereka
miliki. ...” hlm. 52.
Bahkan
setelah warga Ahmadi pindah ke Gegerung, daerah bagian Lombok yang lain, yang
jauh dari Gerupuk:
“Usir!
Usir! ... terdengar bunyi ‘brak’ dan ‘klontang’. Mereka melempar sesuatu ke
rumah yang dilewati ... batu-batu dilempar begitu saja. Ada beberapa orang yang
kena. Berteriak kesakitan. Beberapa darah. Semakin banyak batu ... mengenai
genteng dan jendela .. teriak-teriak kesakitan, tangisan, serta teriakan untuk
terus bertahan dan menyerang bercampur baur.” hlm. 225.
Pengusiran
dan tindakan premanisme pun tidak dapat dikontrol oleh pihak yang seharusnya
menaungi, yaitu polisi yang dibawahi oleh perintah gubernur daerah itu sendiri:
“’Tidak,
Bu. Semua sudah jelas. Polisi itu bohong. Kita semua sudah diusir. Sama seperti
kita diusir dari Gerupuk,’ kata Fatimah lagi.” Hlm. 233
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis diatas disimpulkan bahwa novel Maryam
berdasar teori relasi kuasa Michel Faocault telah menunjukkan
adanya kekuasaan yang terjadi antara anak dengan orang tua, menantu dengan
mertua, anggota masyarakat minoritas dengan anggota masyarakat mayoritas. Yaitu
relasi kuasa yang terjadi antar individu, kelompok, dan institusi.
3.2 SARAN
Setiap ilmu yang dipelajari pastilah berguna entah untuk
saat ini maupun pada waktu yang akan datang. Ilmu tersebut akan menghasilkan
suatu keterampilan dan berbagai perkembangan yang akan membantu kita dalam
menjalani hidup sehari-hari. Seperti menafsirkan, salah satunya
dengan mengkaji melalui teori relasi kuasa.
Mahasiswa
yang telah mengidentifikasi dan bersinggungan serta mengerti dengan teori
ini disarankan mampu menguasai teori ini
lebih mendalam lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Madasari, Okky. (2012). Maryam. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Selden, Raman. (….). Panduan Pembaca
Teori Sastra Masa Kini . Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suwardi, Endraswara. (2013). Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Centre for
Academic Publishing Service.
https://kbbi.web.id/derita
Comments
Post a Comment